Jakarta – Pengibaran bendera One Piece di berbagai daerah memicu reaksi dari akademisi. Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ade Marup Wirasenjaya menilai fenomena ini sebagai bentuk kritik sosial menjelang Hari Kemerdekaan RI. Bendera bajak laut dari serial anime dan manga Jepang itu terlihat berkibar di pagar rumah, perahu kayu, hingga mobil truk.

Ade Marup Wirasenjaya berpendapat, pengibaran bendera One Piece sebaiknya dipahami sebagai kritik terhadap kondisi sosial-politik Indonesia, bukan sebagai ancaman terhadap kedaulatan. Menurutnya, penyandingan kedua bendera tersebut sebagai simbol sarat makna.

“Pengibaran bendera bajak laut lebih tepat dilihat sebagai bentuk kritik soal bukan ancaman terhadap kekuatan dan selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan diposisikan sebagai simbol kritik terhadap penyelenggaraan negara, saya tidak melihat itu menggerus kedaulatan,” kata Ade dalam keterangan pers yang dikutip dari website resmi UMY, Senin (4/8/2025).

Ia menjelaskan, munculnya fenomena ini menandakan masyarakat kehabisan ruang formal untuk menyampaikan kritik. Momentum peringatan kemerdekaan kemudian digunakan sebagai cara menyuarakan kekecewaan. Simbol bajak laut dalam konteks ini, menurut Ade, menjadi sindiran terhadap dominasi elit kekuasaan.

“Pesan simboliknya jelas kok, kemerdekaan jangan dibajak oleh segelintir elit. Istilah bajak laut di sini digunakan sebagai teguran,” ungkapnya.

Ade juga menegaskan pentingnya memaknai nasionalisme bukan hanya sebatas ritual peringatan tahunan. Ia menilai roh kemerdekaan harus tercermin dalam kebijakan dan perilaku para pemimpin negara.

Meski demikian, ia tetap mengingatkan pentingnya sosialisasi aturan soal penggunaan simbol negara. Bendera Merah Putih, sebagai lambang kenegaraan, tetap harus dihormati sesuai undang-undang.

“Pemerintah harus aktif menyosialisasikan aturan soal posisi dan penggunaan bendera negara. Tapi penting juga untuk tidak menutup mata terhadap pesan-pesan sosial yang disampaikan lewat budaya populer,” ujarnya.

Ia pun mengajak para penyelenggara negara menjadikan fenomena ini sebagai bahan refleksi. Alih-alih hanya merespons soal simbol, pemerintah sebaiknya juga memperhatikan substansi di balik ekspresi tersebut.

“Masyarakat masih punya rasa cinta dan bangga terhadap negeri ini. Yang mereka minta adalah agar suara kritisnya tidak diabaikan,” kata Ade.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *