Jakarta – Gelombang protes terhadap tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) pada produk China memicu fenomena baru di media sosial. Pabrikan China memanfaatkan platform seperti TikTok untuk menawarkan produk langsung ke konsumen AS dengan harga yang jauh lebih murah, memicu perdebatan tentang kualitas dan keaslian barang mewah.
Fenomena ini bermula ketika AS memberlakukan tarif impor sebesar 145% terhadap produk China. Pabrikan China merespons dengan mempromosikan produk mereka secara langsung dengan harga yang lebih rendah. Salah satu video yang viral di TikTok menunjukkan seorang pria memegang tas yang mirip dengan Hermes Birkin.
Pria tersebut mengklaim bahwa biaya produksi tas mewah itu kurang dari US$1.400 (sekitar Rp23 juta), sementara Hermes menjualnya seharga US$38.000 (sekitar Rp640 juta). Video tersebut telah dihapus dari TikTok, tetapi banyak pengguna yang mengunggahnya kembali. Pria itu juga mengklaim bahwa pabrik di China menggunakan kulit dan hardware yang serupa dengan Hermes Birkin, tetapi tanpa logo Hermes. Tas tersebut ditawarkan seharga US$1.000 (sekitar Rp16 juta).
Menanggapi hal ini, juru bicara Hermes menegaskan bahwa tas-tas mereka diproduksi 100% di Prancis dan menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut.
Juru bicara Birkenstock juga menanggapi video-video yang menunjukkan produk tiruan perusahaannya. Birkenstock menyatakan bahwa produk mereka dirancang dan diproduksi di Uni Eropa. Perusahaan telah menghubungi TikTok dan video tersebut dihapus pada 15 April 2025.
Lululemon, yang juga menjadi target video viral TikTok dari manufaktur China, turut angkat bicara. Manufaktur China mengklaim menjual legging serupa Lululemon dengan harga US$5 (sekitar Rp84.000).
Lululemon telah menghubungi TikTok untuk menghapus konten tersebut. Lululemon juga menegaskan bahwa pihaknya tidak bekerja dengan pabrik-pabrik yang mengunggah video viral di TikTok. Perusahaan mewanti-wanti agar konsumen tidak terkecoh dengan produk dan informasi palsu.
Meskipun banyak video viral di TikTok dari penjual China yang sudah dihapus, fenomena ini menunjukkan minat besar warga AS untuk membeli produk-produk murah di China. Warga AS juga menunjukkan solidaritas terhadap pedagang di China dan protes terhadap tarif resiprokal yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.
Influencer AS turut mempromosikan video-video dari pedagang China. Hal ini mendorong jumlah unduhan aplikasi e-commerce China seperti DHGate dan Taobao di AS. Akibatnya, DHGate langsung masuk jajaran ‘Top 10’ aplikasi yang paling banyak diunduh di toko aplikasi Apple dan Google pada pekan kedua April 2025.
Video-video dari para pedagang China mendulang popularitas di TikTok dan Instagram. Mereka menghimpun jutaan view dan ribuan like. Unggahan-unggahan itu berhasil mendorong simpati warga AS terhadap China di tengah perang dagang yang dilancarkan Trump.
Diketahui, Trump memberlakukan tarif resiprokal sebesar 145% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke AS. China membalas dengan menetapkan tarif 125% untuk barang-barang impor AS yang dijual ke negaranya.
“Trump menginjak-injak negara yang salah. China menang dalam perang ini,” kata salah satu netizen AS, seperti dikutip dari The Economic Times, Jumat (25/4/2025).
Matt Pearl, direktur yang fokus pada isu teknologi di Center for Strategic and International Studies, mengatakan bahwa fenomena ini mengaktivasi pandangan politik warga AS, sama seperti yang terjadi saat TikTok hendak diblokir. “Saat ini konteksnya adalah tarif dan hubungan kedua negara secara umum,” katanya.
Pearl menambahkan, hal ini menunjukkan kemampuan komunikasi antara pedagang China dan konsumen AS, sekaligus memperlihatkan ketergantungan AS dengan barang-barang asal China.
Menurut analis Graphika, Margot Hardy, jumlah video yang