Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis, terutama di daerah terpencil. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan layanan kesehatan di seluruh pelosok negeri.
Menurut Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan & Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK), Kementerian Kesehatan RI, Setiaji, pemanfaatan AI, integrasi data, dan telekonsultasi dapat menjadi solusi cepat. Ia menjelaskan bahwa Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 2.700 dokter spesialis setiap tahunnya, sementara kebutuhan riil mencapai 25 ribu dokter dalam satu dekade mendatang.
“Kalau mengandalkan produksi dokter, kita butuh waktu 10 tahun. Tapi dengan teknologi, layanan bisa menjangkau lebih cepat, bahkan ke wilayah terpencil,” ujar Setiaji dalam forum pemaparan Future Health Index 2025 di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Setiaji menyoroti potensi besar AI dan digitalisasi dalam mengatasi ketimpangan layanan kesehatan. Ia memberikan contoh telesurgery, yaitu operasi jarak jauh yang memungkinkan dokter spesialis di kota besar mengoperasi pasien di daerah melalui bantuan robotik dan koneksi internet. Selain itu, integrasi data melalui platform SATUSEHAT terus dikembangkan sejak diluncurkan pada tahun 2022.
“Kita ingin semua data kesehatan terkonsolidasi. Dokter bisa tahu pasien minum obat apa sebelumnya, punya alergi atau tidak. Itu membuat diagnosis dan pengobatan jauh lebih akurat,” jelasnya.
Data dari SATUSEHAT juga akan terhubung ke aplikasi SATUSEHAT Mobile, yang saat ini digunakan untuk layanan cek kesehatan gratis di Puskesmas. Aplikasi ini tidak hanya merekam data pasien yang sakit, tetapi juga mulai menyaring data populasi sehat yang belum terdeteksi penyakitnya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kini juga mengembangkan model-model AI untuk efisiensi biaya layanan, salah satunya untuk prediksi diabetes. Alih-alih melakukan screening massal terhadap 90 juta orang, model AI membantu mengidentifikasi sekitar 30% target yang lebih berisiko, sehingga anggaran dapat dialokasikan lebih hemat dan tepat sasaran.
Pemanfaatan AI juga diperluas ke analisis hasil radiologi seperti CT scan dan X-ray, konsultasi virtual berbasis data pasien, hingga pemanfaatan data wearable device seperti smartwatch untuk memantau gaya hidup.
Meskipun demikian, Setiaji mengingatkan bahwa AI tidak dapat menggantikan pengambilan keputusan klinis. “Tetap harus ada validasi dokter, dengan prinsip etika dan keamanan data yang dijaga. Pasien juga wajib memberi consent,” tegasnya, merujuk pada 6 prinsip AI dari WHO.
Kemenkes juga tengah menyiapkan ekosistem regulasi melalui program sandbox regulatory yang menguji teknologi baru sebelum dirilis ke publik. “Ada yang dibina, ada yang belum bisa jalan karena belum penuhi aspek legal, privasi data, dan validasi klinis,” kata Setiaji.
Lebih lanjut, Setiaji menambahkan bahwa Kemenkes bekerja sama dengan pihak swasta, asuransi, dan platform teknologi untuk mempercepat integrasi layanan dan membuktikan manfaat AI secara langsung.











