Jakarta – Pemerintah berencana melakukan penyesuaian tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai tahun 2026. Langkah ini diambil sebagai upaya menjaga keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penyesuaian iuran ini diperlukan untuk menjaga kesehatan kas negara dan memastikan BPJS Kesehatan tetap dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

“Dalam kerangka pendanaan, skema pembiayaan perlu disusun secara komprehensif untuk menjaga keseimbangan kewajiban antara tiga pilar utama yakni masyarakat/peserta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menambahkan, penyesuaian iuran akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. “Untuk itu, penyesuaian [kenaikan] iuran dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Pendekatan bertahap ini penting untuk meminimalisir gejolak sekaligus menjaga keberlanjutan program,” katanya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti sebelumnya menyatakan, pihaknya telah melakukan perhitungan terkait rencana penyesuaian tarif iuran tersebut. Namun, ia belum dapat mempublikasikan rinciannya karena masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah. Menurutnya, skenario kenaikan tarif tersebut tengah didiskusikan dengan pemerintah dan akan diputuskan oleh pemerintah.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan pentingnya penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan, terutama setelah lima tahun terakhir tidak mengalami kenaikan sejak 2020. Sementara itu, belanja kesehatan masyarakat terus meningkat setiap tahunnya dengan kisaran 15%.

“Sama saja kita ada inflasi 5%, gaji pegawai atau menteri tidak boleh naik selama 5 tahun, itu kan agak menyedihkan juga kalau kita bilang ke karyawan atau supir kita gak naik 5 tahun padahal inflasi 15% kan enggak mungkin,” ucap Budi di DPR, pada Februari lalu.

Budi menjelaskan, kenaikan belanja kesehatan saat ini telah melampaui pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2023, total belanja kesehatan mencapai Rp 614,5 triliun, meningkat 8,2% dari tahun 2022 yang sebesar Rp 567,7 triliun. Bahkan sebelum pandemi Covid-19, pada tahun 2018, belanja kesehatan naik 6,2% dari Rp 421,8 triliun menjadi Rp 448,1 triliun.

Budi menegaskan, kenaikan belanja kesehatan yang melebihi pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya sekitar 5% selama 10 tahun terakhir dianggap tidak sehat. “Kita hati-hati bapak ibu bahwa pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP, itu akibatnya tidak sustain bapak ibu,” ungkap Budi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *