Medan – Tokoh nasional Prof Muhammad Nuh memberikan inspirasi kepada generasi muda dengan membagikan tiga kunci sukses dalam hidup. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam LPS Financial Festival Medan 2025 di Regale International Convention Center, Medan, Rabu (20/8/2025).
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu membuka pidatonya dengan sejumlah kutipan yang memikat perhatian audiens. “Jangan matikan cahaya yang lain, tapi perbesar cahaya kita sendiri,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan, “Perbanyak sahabat karena mereka adalah bagian dari kesuksesan kita,” “Jangan menambah musuh karena dia akan menjadi bagian dari kegagalan kita,” “Sedekah terbaik bagi pemimpin bukanlah uang, melainkan kebijakan,” dan “Sekolah rakyat adalah cara terbaik untuk memuliakan dan melunasi hutang kepada kaum dhuafa.”
Menurutnya, ada tiga rahasia penting yang harus diingat oleh anak muda agar bisa sukses menghadapi tantangan zaman, yaitu kesetiaan, daya juang, dan filosofi memberi sebelum menerima.
Prof Nuh menegaskan, nilai pertama yang harus dipegang oleh siapa pun adalah kesetiaan. Menurutnya, kesetiaan bukan hanya urusan pribadi dalam rumah tangga, tetapi juga menjadi pondasi bagi organisasi, bangsa, bahkan negara. Ia menekankan, banyak kerusakan dan konflik besar berawal dari hilangnya kesetiaan.
“Kesetiaan itu mahal betul. Setia kepada bangsa dan negara, setia kepada kebenaran, setia pada siapapun yang pernah punya ikatan janji. Rusaknya rumah tangga, rusaknya organisasi, rusaknya apa saja itu biasanya diawali dari ada yang tidak setia,” kata Prof Nuh.
Bagi dirinya, prinsip kesetiaan inilah yang selalu dijaga sejak muda hingga kini, baik sebagai akademisi maupun ketika pernah menjabat sebagai pejabat publik. Ia mengingatkan, anak muda perlu memegang prinsip ini sejak dini, karena loyalitas dan integritas akan menjadi kunci untuk membangun kepercayaan jangka panjang.
Nilai kedua yang dibagikan Prof Nuh adalah daya juang. Menurutnya, sejak lahir manusia sudah menjadi pemenang, karena berhasil mengalahkan miliaran sperma lain untuk bisa hidup di dunia.
“Kalau kita lihat dari proses kejadian manusia, itu kan ada miliaran sperma yang tidak bisa berhasil masuk. Yang bisa jadi hanya satu, akhirnya jadilah kita semua ini. Sehingga kita semua ini telah mengalahkan miliaran saudara-saudara kita yang tidak sempat jadi manusia. Masa kalau sudah jadi manusia terus tidak tahan berjuang untuk hidup?” ujarnya.
Dari cara pandang itu ia menekankan, menyerah bukanlah pilihan. Menurutnya, nilai kejuangan dan kerja keras adalah modal dasar untuk menjalani hidup yang penuh tantangan.
Rahasia ketiga yang dibagikan Prof Nuh adalah filosofi memberi. Ia menggunakan analogi sederhana, ‘Hidup ini seperti gema. Apa pun yang kita keluarkan akan kembali kepada kita.’
“Hidup itu seperti gema. Kalau saya bilang A, ada pantulan A yang saya terima. Kalau saya bilang B, ada pantulan B yang saya terima. Sehingga apa? Hidup itu memberi, memberi, memberi, baru menerima. Kalau kita tidak mau memberi, jangan berharap bisa menerima,” jelasnya.
Menurutnya, prinsip ini berlaku di semua aspek kehidupan, mulai dari pertemanan, organisasi, hingga kepemimpinan. Anak muda diminta jangan hanya fokus pada apa yang ingin didapat, tapi juga pada apa yang bisa diberikan.
Selain tiga nilai yang ia bagikan, Prof Nuh mengaitkan prinsip sosial dengan era digital. Ia menyinggung hukum Moore’s Law yang berbicara soal kecepatan perkembangan teknologi, lalu membandingkannya dengan jejaring manusia.
“Perbanyak sahabat karena sahabat itu akan menjadi bagian dari kesuksesan kita. Jangan menambah musuh, karena musuh itu akan menjadi bagian dari kegagalan kita,” tuturnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pendidikan yang relevan. Menurutnya, ada ilmu yang cepat usang, ada yang sedang populer, dan ada yang baru dalam tahap riset. Karena itu, anak muda harus menjadi pembelajar sejati yang tidak pernah berhenti belajar.
Bahkan, ia menyebut artificial intelligence (AI) sebagai contoh nyata. “AI itu mesin yang bisa belajar dan berpikir sendiri. Karena itu kita pun sebagai manusia harus mencontohnya, terus belajar dan beradaptasi,” kata Prof Nuh.
Selain nilai moral, Prof Nuh juga menekankan pentingnya pendidikan. Ia menyampaikan ilmu pengetahuan punya siklus yakni ada ilmu yang cepat usang, ada yang sedang populer, dan ada yang masih dalam tahap riset.
“Kalau anak-anak kita hanya diajarkan ilmu yang sudah expired, begitu lulus ilmunya basi. Tetapi kalau hanya yang third horizon, yang belum muncul, mereka bingung. Maka ketiganya harus diberikan. Karena ilmu itu terus berubah, maka yang tidak boleh ditinggalkan adalah menjadi pembelajar sejati. Belajar, belajar, belajar,” tegasnya.
Pidato Prof Nuh tidak hanya penuh pesan serius, tetapi juga dilengkapi kisah personal yang membumi. Ia menceritakan masa kuliah di Perancis, perjuangan hidup sederhana sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara, hingga pengalaman lucu saat menjadi menteri yang pernah ditugaskan mengalungkan mahkota Miss Indonesia.
“Setelah selesai jadi menteri, yang paling mahal itu ternyata bukan jabatan. Tapi bisa kembali ke kampus dan diterima dengan baik. Itu kuncinya: bersyukur,” katanya mengenang.