Peran seorang ibu dalam membentuk pemahaman anak tentang cinta ternyata sangat fundamental, namun bukan satu-satunya penentu. Sejak dini, pengalaman kasih sayang dari ibu menjadi fondasi utama yang membentuk cara seseorang mencintai dan dicintai di kemudian hari, meski faktor lain seperti pengalaman pribadi dan lingkungan juga turut mewarnai.
Jauh sebelum mengenal cinta romantis, seorang anak pertama kali merasakan kasih sayang melalui sentuhan, perhatian, dan cara ibu merawatnya. Dari pelukan hangat saat sedih, respons terhadap kesalahan, hingga bagaimana ibu mencintai dirinya sendiri, anak mulai mengukir definisi awal tentang cinta. Ini bukan sekadar kata-kata, melainkan tindakan nyata sehari-hari yang menanamkan rasa aman, nyaman, dan kepercayaan.
Cara ibu merawat dan menanggapi kebutuhan anak menjadi dasar bagi pemahamannya tentang kasih sayang. Ketika ibu dengan sabar mendengarkan, memeluk saat anak merasa sedih, atau tersenyum bangga, anak akan belajar bahwa cinta berarti dukungan dan penerimaan tanpa syarat.
Sebaliknya, jika ibu sering menunjukkan kasih sayang dengan syarat tertentu—misalnya hanya memberi perhatian saat anak berperilaku baik atau berprestasi—anak bisa tumbuh dengan pemahaman bahwa cinta harus diperjuangkan atau tidak datang dengan mudah. Bagaimana ibu menanggapi konflik, dengan tetap lembut namun tegas, juga mengajarkan bahwa cinta bukan hanya manisnya kebersamaan, tetapi juga tentang kedewasaan dalam menghadapi masalah.
Lebih dari itu, ibu juga menjadi cerminan bagaimana sebuah hubungan asmara seharusnya berjalan. Anak, terutama perempuan, sering mengamati bagaimana ibunya memperlakukan pasangan, cara ia mengatasi konflik, dan bagaimana ia menyeimbangkan cinta dengan kehidupan pribadinya. Tanpa perlu diberi tahu secara langsung, anak belajar tentang cinta dari apa yang ia lihat setiap hari di rumah.
Jika seorang ibu menjalani hubungan yang sehat dengan komunikasi baik, rasa hormat, dan kerja sama seimbang, anak akan memahami bahwa hubungan ideal dibangun di atas dasar saling menghargai dan mendukung. Mereka akan melihat bahwa cinta bukan hanya tentang kata-kata romantis, tetapi juga tentang bagaimana pasangan bisa menjadi tim dalam menjalani kehidupan.
Namun, jika anak tumbuh di lingkungan keluarga penuh konflik, di mana ibu sering bertengkar dengan pasangannya, merasa tidak dihargai, atau bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, gambaran cinta yang terbentuk dalam benaknya bisa sangat berbeda. Tanpa disadari, anak bisa membawa pola hubungan yang sama ke dalam kehidupannya nanti, baik dengan menjadi seseorang yang pasrah menerima perlakuan buruk atau justru takut menjalin hubungan serius.
Meski demikian, pengaruh ibu tidak absolut. Pengalaman pribadi anak tetap menjadi faktor utama dalam membentuk cara mereka menjalani hubungan asmara. Seiring bertambahnya usia, anak akan menghadapi berbagai situasi yang menguji pemahaman mereka tentang cinta, mulai dari persahabatan, perasaan pertama, patah hati, hingga hubungan yang lebih serius. Pengalaman-pengalaman inilah yang akhirnya membentuk cara mereka menilai, memahami, dan menjalani cinta.
Ada anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis, tetapi tetap mengalami hubungan yang toksik karena kurangnya pemahaman terhadap tanda-tanda bahaya dalam hubungan. Sebaliknya, ada juga anak yang berasal dari latar belakang keluarga penuh konflik, tetapi berhasil membangun hubungan yang sehat karena belajar dari kesalahan yang ia lihat di masa kecilnya.
Faktor lingkungan juga berperan besar dalam membentuk pola pikir anak tentang cinta. Pengaruh teman sebaya, media sosial, film, dan buku dapat memberikan perspektif yang berbeda dari apa yang mereka lihat dalam keluarga. Di era digital saat ini, anak-anak tidak hanya belajar tentang cinta dari orang tua, tetapi juga dari narasi yang dibentuk oleh media. Ini bisa menjadi pedang bermata dua; mereka bisa mendapatkan wawasan baru tentang hubungan yang sehat, tetapi juga bisa terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis.
Selain itu, setiap individu memiliki karakter dan cara berpikir yang unik. Dua anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga yang sama bisa saja memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta dan hubungan, tergantung pada bagaimana mereka memproses pengalaman hidupnya.
Jadi, apakah ibu benar-benar role model pertama? Jawabannya adalah iya, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Ibu memang menjadi sosok pertama yang memperkenalkan konsep cinta dan hubungan, tetapi banyak faktor lain yang turut membentuk cara anak menjalani asmara di masa depan. Apa yang anak pelajari dari ibunya bisa menjadi pedoman awal, namun tidak selalu menjadi satu-satunya acuan.
Ibu memiliki peran besar dalam membekali anak dengan nilai-nilai cinta yang sehat. Bukan dengan mengatur atau mengontrol, tetapi dengan memberi contoh yang baik, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menjadi tempat yang aman bagi anak untuk berdiskusi. Pada akhirnya, ibu memang bisa menjadi role model pertama, tetapi bukan satu-satunya. Pengalaman hidup, lingkungan, dan keputusan pribadi anaklah yang akan menentukan bagaimana mereka memahami dan menjalani cinta sepanjang hidup mereka.