Jakarta – Kesenjangan akses terhadap pengobatan kanker, terutama terapi inovatif, menjadi sorotan di tengah meningkatnya kasus kanker di Indonesia. Ketua Umum Cancer Information & Support Center (CISC), Ariyanthi Baramuli Putri, menyoroti bahwa sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjamin hak pasien untuk mendapatkan terapi dan obat inovatif.

Menurut data Kementerian Kesehatan, setiap tahunnya terdeteksi sekitar 400 ribu kasus baru kanker di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 240 ribu kasus. Peningkatan kasus ini diprediksi akan melonjak lebih dari 70 persen pada 2050 jika langkah pencegahan dan deteksi dini tidak diperkuat.

Ariyanthi mencontohkan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan saat ini baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif. Padahal, pengobatan sudah berkembang hingga generasi ketiga. “Selama 5-10 tahun ini saya sangat mengapresiasi adanya JKN yang menjamin pengobatan kanker khususnya kanker paru. Namun itu hanya beberapa saja dan belum semuanya,” kata Ariyanthi dalam media gathering di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).

Terapi generasi 1 dan 2 memiliki keterbatasan karena tingkat penetrasinya ke otak rendah. Hal ini menyebabkan efektivitasnya dalam mencegah atau mengendalikan penyebaran kanker paru ke otak lebih rendah dibandingkan terapi generasi 3. Padahal, sekitar 40% pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis ke otak.

Ariyanthi menambahkan, mayoritas penderita kanker paru di rumah sakit di sejumlah daerah yang berobat biasanya telah menderita kanker stadium 4. Kondisi ini membutuhkan penanganan lebih lanjut serta biaya yang tidak sedikit. Ia menekankan bahwa negara harus hadir dalam pemenuhan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan menghadirkan skema berbagi risiko yang lebih baik.

BPJS Kesehatan memang menanggung biaya pengobatan kanker, namun cakupan tanggungan tersebut tidak mencakup semua jenis pengobatan dan obat-obatan, terutama untuk kasus-kasus yang memerlukan terapi mahal atau obat-obatan yang baru dan canggih seperti terapi target generasi 3. “Dalam hal ini, ada kasus di mana peserta BPJS Kesehatan harus menanggung sebagian biaya pengobatan sendiri, terutama jika mereka memerlukan terapi yang tidak termasuk dalam cakupan tanggungan BPJS Kesehatan,” paparnya.

Mahalnya biaya pengobatan kanker paru juga dirasakan oleh para penyintas. Patricia Susanna, seorang penyintas kanker paru stadium lanjut yang terdiagnosa sejak 2022, mengaku harus mengeluarkan uang ratusan juta untuk berbagai pengobatan kanker. “Kalau saya lebih dari Rp 100 juta sebulan dengan kombinasi pengobatan kanker. Tapi saya ke bantu dengan yang ada di cover BPJS,” kata Patricia.

Senada dengan Patricia, Rachmayunila, penyintas kanker paru stadium 4 yang baru terdiagnosis pada Mei 2025, juga harus menjalani terapi target yang tidak ditanggung oleh BPJS. “Saya disarankan dokter mengambil pengobatan Terapi Target karena sudah stadium lanjut dan ini tidak di cover oleh BPJS. Terapi target yang saya lakukan biayanya sekitar puluhan juta untuk setiap bulan. Itu belum biaya lainnya,” paparnya. Rachmayunila menjelaskan bahwa obat yang digunakan dalam terapi target spesifik menargetkan sel-sel kanker, sehingga hanya berefek pada sel-sel kanker dan tidak mencederai atau merusak sel yang normal dan sehat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *