Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang disepakati pada Januari 2025 kini resmi kolaps, hanya dua bulan setelah dimulai. Serangan udara Israel kembali mengguncang Jalur Gaza sejak Selasa dini hari (18/3/2025), menewaskan ratusan warga sipil dan memicu gelombang pengungsian massal. Militer Israel mengonfirmasi telah melancarkan “operasi darat terbatas” yang merebut kembali sebagian Koridor Netzarim, jalur strategis yang membelah Gaza. Bahkan, wilayah yang sebelumnya dinyatakan aman, seperti Al Mawasi, turut menjadi sasaran serangan.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa negosiasi akan tetap berjalan di tengah peperangan. “Mulai sekarang, negosiasi akan dilakukan sambil terus berperang,” kata Netanyahu dalam pidato yang disiarkan televisi. Ia menambahkan, “Saya ingin meyakinkan Anda: Ini baru permulaan.”

Pemerintah Israel menyebut alasan utama serangan ini adalah penolakan Hamas terhadap dua proposal mediasi terbaru dari utusan Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff. Hamas juga dituding tetap mengancam keamanan militer dan warga Israel. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan, “Karena penolakan Hamas untuk membebaskan para sandera serta adanya ancaman yang ditujukan terhadap tentara dan komunitas Israel.”

Hingga kini, dari total 251 sandera yang diculik pada 7 Oktober 2023, baru delapan orang yang berhasil dibebaskan hidup-hidup oleh militer Israel. Sumber dari pemerintah mengindikasikan bahwa serangan terbaru ini merupakan bagian dari strategi menekan Hamas agar melepaskan lebih banyak sandera. Netanyahu tampaknya masih memegang keyakinan bahwa tekanan militer adalah cara paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut.

Di balik eskalasi ini, dinamika politik internal Israel turut berperan penting. Netanyahu sedang menghadapi tenggat waktu dua pekan untuk pengesahan anggaran nasional. Jika gagal, pemerintahannya berpotensi jatuh dan pemilu harus digelar. Kelompok ekstrem kanan, yang menjadi penopang kekuasaannya, sejak awal menolak gencatan senjata dan bahkan mendorong pembangunan kembali permukiman Yahudi di Gaza yang telah dibongkar sejak 2005.

Menteri Keamanan Nasional dari partai Jewish Power, Itamar Ben Gvir, sempat mundur sebagai bentuk protes terhadap gencatan senjata. Namun, partainya langsung menyatakan akan kembali bergabung dalam koalisi pemerintahan setelah perang dimulai lagi, menjadi kemenangan politik bagi Netanyahu yang kini bisa memperkuat mayoritasnya. Menteri lainnya, Bezalel Smotrich, juga mendukung dimulainya kembali perang. “Ini adalah operasi bertahap yang telah kami rencanakan dan susun dalam beberapa minggu terakhir sejak Kepala Staf baru IDF mulai bertugas,” ujarnya.

Kembalinya perang juga diduga sebagai upaya Netanyahu mengalihkan perhatian publik dari krisis internal lainnya, termasuk rencana pemecatan kepala Shin Bet, badan keamanan dalam negeri Israel. Langkah itu memicu protes besar dan kecurigaan bahwa Netanyahu berusaha menutupi kegagalan intelijen pada serangan 7 Oktober 2023. Sebuah laporan bahkan menyebutkan, penyelidikan Shin Bet sempat menelusuri dugaan keterlibatan ajudan Netanyahu dalam lobi dengan Qatar.

Seorang analis politik menilai, “Tujuan Netanyahu tampak semakin jelas: pelahan-lahan menuju rezim bergaya otoriter, yang akan dia pertahankan melalui perang terus-menerus di berbagai front.” Bagi keluarga para sandera, kembalinya perang merupakan pukulan telak. “Bagi saya, justru hari ini gerbang neraka benar-benar terbuka,” ujar Ruhama Buhbut, yang putranya, Elkana, masih ditahan di Gaza.

Gencatan senjata yang dimulai 19 Januari 2025 seharusnya memasuki fase kedua sejak 3 Februari. Dalam fase ini, Israel diwajibkan menarik seluruh pasukannya dari Gaza dan mengakhiri perang secara permanen. Sebagai imbalannya, Hamas akan membebaskan semua sandera yang masih hidup. Namun, Israel menginginkan revisi; mereka bersedia membebaskan tahanan Palestina sebagai imbalan pembebasan sandera, tetapi menolak mengakhiri perang maupun menarik pasukan.

AS mulai menjalin komunikasi langsung dengan Hamas, sebuah terobosan diplomatik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Utusan AS Steve Witkoff mengusulkan perpanjangan gencatan senjata selama Ramadhan hingga Paskah, tetapi tidak memasukkan komitmen untuk menghentikan perang. Hamas menolak proposal tersebut dan menuduh Israel secara sengaja menggagalkan kesepakatan yang telah diteken pada 17 Januari 2025.

Pekan lalu, Hamas menawarkan pembebasan Edan Alexander, tentara Israel-Amerika, beserta jenazah empat warga negara ganda lainnya. Sebagai imbalan, mereka meminta Israel mematuhi perjanjian gencatan senjata tiga tahap yang telah disepakati. Israel menilai tawaran itu sebagai upaya manipulasi emosi dan tidak tulus dalam bernegosiasi.

Para analis memperkirakan, operasi militer akan terus berlangsung paling tidak hingga pengesahan anggaran nasional Israel. Jika hal itu tercapai, Netanyahu bisa memperkuat kekuasaannya sekaligus membuka jalan bagi kesepakatan baru di meja perundingan. Namun bagi warga Gaza, waktu dua minggu ke depan berarti bertahan hidup di bawah hujan bom yang kembali mengguncang tanah mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *