Jakarta – Penggunaan gas air mata dalam aksi demonstrasi menjadi sorotan pakar kesehatan paru, Tjandra Yoga Aditama. Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu mengungkapkan sejumlah risiko kesehatan yang perlu diperhatikan.
Dalam keterangan tertulisnya, Tjandra yang juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie XXI bidang Kesehatan, menjabarkan lima poin penting terkait dampak gas air mata.
Pertama, Tjandra menjelaskan bahwa gas air mata umumnya mengandung bahan kimia seperti chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR).
Kedua, paparan gas air mata dapat berdampak pada kulit, mata, paru-paru, dan saluran pernapasan.
Ketiga, gejala akut pada saluran pernapasan meliputi dada terasa berat, batuk, tenggorokan tercekik, mengi, hingga sesak napas. Pada kondisi tertentu, dapat muncul gawat napas (respiratory distress). Bagi penderita asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), paparan gas air mata dapat memicu serangan akut yang berpotensi menyebabkan gagal napas.
Keempat, selain masalah pernapasan, gas air mata juga dapat menimbulkan sensasi terbakar di mata, hidung, dan mulut, pandangan kabur, kesulitan menelan, hingga luka bakar kimiawi dan reaksi alergi.
Kelima, meskipun efek utama gas air mata biasanya bersifat akut, Tjandra mengingatkan bahwa pada kondisi tertentu, paparan dapat menimbulkan dampak kronis berkepanjangan, terutama bila dosis tinggi, berlangsung lama, atau terjadi di ruang tertutup.
Tjandra yang juga pernah menjabat Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI itu menekankan bahwa tingkat bahaya gas air mata bergantung pada tiga faktor. “Dampak gas air mata akan makin buruk jika paparannya besar, dialami orang dengan gangguan kesehatan tertentu, dan terjadi di ruang tertutup,” tegasnya. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah paparan, kondisi kesehatan, dan lingkungan paparan.