Jakarta – Dunia mode berduka, perancang busana legendaris Giorgio Armani tutup usia pada usia 91 tahun, Kamis (4/9/2025). Kabar duka ini disampaikan melalui pernyataan resmi yang menyebutkan bahwa Armani meninggal dunia dengan tenang, dikelilingi oleh orang-orang terdekatnya.

Dalam keterangan resmi yang dikutip dari People, Jumat (5/9/2025), disebutkan, “Armani bekerja hingga akhir hayat, mendedikasikan diri ke perusahaan, koleksi-koleksinya, dan banyak proyek masa depan.”

Kepergian Armani ini terjadi setelah dirinya beberapa kali absen dari acara-acara penting rumah mode miliknya. Pada Juni 2025, ia tidak hadir dalam peragaan busana pria di Milan Fashion Week untuk pertama kalinya dalam 50 tahun, menurut laporan AP.

Karyawan dan keluarga Armani menyampaikan rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian sang maestro. Mereka menggambarkan Armani sebagai sosok pemimpin dengan visi, semangat, dan dedikasi tinggi.

“Dalam semangat beliau, kami -para karyawan dan anggota keluarga- berkomitmen untuk melindungi apa yang beliau bangun dan memajukan perusahaannya untuk mengenang beliau, dengan rasa hormat, tanggung jawab, dan cinta,” demikian bunyi pernyataan gabungan tersebut.

Armani lahir pada 11 Juli 1934 di Piacenza, Italia, dari pasangan aria Raimondi dan Ugo Armani. Ia mendirikan label ‘Giorgio Armani’, yang diambil dari namanya sendiri, pada tahun 1975.

Di bawah kepemimpinannya, Giorgio Armani berkembang menjadi kerajaan mode yang membawahi beberapa unit bisnis, termasuk ‘Armani Prive’, ‘Emporio Armani’, dan ‘Armani Exchange’.

Sebelum terjun ke dunia mode, Armani sempat menempuh pendidikan di bidang kedokteran selama tiga tahun. Namun, ia kemudian meninggalkan kuliahnya untuk menjalani wajib militer selama dua tahun.

Setelah menyelesaikan wajib militer, Armani bekerja di sebuah department store di Milan sebagai penata etalase. Ia kemudian dipromosikan menjadi window dresser sebelum akhirnya terjun ke dunia desain fesyen pada pertengahan 1960-an.

Awal karier fesyen Armani tidak langsung menjadi perancang busana, melainkan sebagai pekerja untuk perancang Nino Cerruti. Pada tahun 1975, ia memutuskan untuk mendirikan labelnya sendiri bersama rekan bisnis sekaligus kekasihnya, Sergio Galeotti.

Kesuksesan besar diraih Armani berkat caranya mendekonstruksi setelan jas pria dan menciptakannya kembali dengan bahan yang lebih lembut, lebih longgar, dan lebih pas. Karakteristik ini kemudian menjadi gaya desain khasnya yang dicintai di seluruh dunia.

Pada era 1980-an, setelan jas Armani menjadi simbol kekuatan bagi para pebisnis di Amerika Serikat (AS). Hal ini juga didorong oleh popularitas merek Armani dalam budaya populer.

Penampilan Richard Gere yang mengenakan koleksi Armani dalam film ‘American Gigolo’ pada tahun 1980 melambungkan merek tersebut di AS. Selain itu, tampilan kaos oblong di balik jas longgar Armani yang dipopulerkan oleh serial ‘Miami Vice’ juga meresap ke dalam gaya busana AS hingga saat ini.

Setelah memikat hati para pebisnis AS, Armani pun berjaya di karpet merah. Julia Roberts mengenakan setelan jas yang terinspirasi busana pria di Golden Globe Awards 1990.

Sejumlah selebritas lain yang menjadi penggemar Armani antara lain Rihanna, Cate Blanchett, dan Anne Hathaway. Armani bahkan pernah mendandani Lady Gaga di masa-masa avant-garde-nya yang ikonik.

Dalam sebuah wawancara pada tahun 2017 dengan ‘How to Spend It’, Armani mengungkapkan rahasia kesuksesannya di dunia fesyen. Ia mengatakan bahwa kunci utamanya adalah tetap berpegang pada gaya khasnya dan mengabaikan tren.

“Saya tidak pernah tertarik menjadi trendi hanya demi tren itu sendiri,” ujarnya. Ia menambahkan, “Saya punya visi dan ide sendiri dan tidak takut untuk melawan arus. Lagipula, tren mode selalu berubah. Ada kalanya mode menjauh dari keyakinan estetika saya, dan ada kalanya mendekati. Saya tidak peduli.”

Kepada ‘Business of Fashion’, Armani pernah menyampaikan bahwa ia selalu mementingkan relevansi dengan kehidupan sehari-hari ketika merancang pakaian. “Jika Anda membuat pakaian yang tidak sesuai dengan dunia tempat kita tinggal, pakaian itu akan menjadi tidak berarti,” katanya.

“Ini sangat penting dan itulah alasan sebenarnya mengapa saya masih di sini setelah 40 tahun, alasan mengapa saya merasa kesal ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginan saya,” imbuhnya.

Menurut Armani, aspek lain yang tak kalah penting adalah kedisiplinan. “80 persen dari apa yang saya lakukan adalah hasil kedisiplinan. Sisanya kreativitas,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *