Hampir separuh ibu menggambarkan pengalaman melahirkan sebagai momen traumatis, namun banyak yang merasa malu atau bersalah untuk mengungkapkannya. Perasaan ini sering kali membuat mereka menyembunyikan trauma, padahal mencari dukungan yang tepat sangat esensial untuk mencegah dan mengatasi kekerasan serta trauma selama persalinan.
Salah satu pemicunya adalah informasi keliru yang beredar. Penting untuk diingat bahwa jika seorang ibu merasa pengalaman melahirkannya traumatis, hal itu adalah wajar dan tidak perlu disembunyikan atau disalahkan.
Apa Itu Kekerasan Persalinan?
Kekerasan persalinan merujuk pada segala bentuk kekerasan yang dialami perempuan selama kehamilan, proses persalinan, dan pascamelahirkan. Ini bisa berupa kekerasan fisik, verbal, emosional, atau tindakan medis yang tidak sesuai prosedur.
Contoh kekerasan fisik meliputi pemeriksaan vagina tanpa izin, pemeliharaan serviks tanpa alasan medis jelas, atau tindakan episiotomi (pengguntingan jalan lahir) tanpa indikasi medis dan persetujuan ibu.
Kekerasan verbal, misalnya, berupa komentar yang merendahkan saat ibu kontraksi, seperti “Ibu waktu kontraksi teriak-teriak kayak gini, pada saat bikinnya diam-diam jangan teriak-teriak.” Sementara itu, kekerasan emosional mencakup pengabaian dan kurangnya empati dari tenaga medis. Definisi ini menekankan hak perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang menghormati otonomi tubuh mereka, dengan pengambilan keputusan yang melibatkan persetujuan dan pemahaman jelas.
Apa Itu Trauma Melahirkan?
Trauma melahirkan, atau dalam istilah medis disebut postpartum post-traumatic stress disorder (PTSD), merupakan kondisi kesehatan mental yang disebabkan oleh pengalaman menakutkan saat proses persalinan. Trauma ini dapat terjadi baik karena ibu mengalaminya langsung maupun menyaksikannya.
Ibu yang mengalami trauma persalinan sering kali terus teringat peristiwa traumatis tersebut, yang dapat memengaruhi kesehatan mentalnya. Banyak ibu kesulitan untuk kembali beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, karena kenangan tentang peristiwa itu terus membayangi pikiran. Hal ini bisa membuat ibu merasa terisolasi, cemas, atau kesulitan menjalani peran baru sebagai ibu, karena perasaan trauma yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Risiko Trauma Melahirkan
Trauma melahirkan dapat berdampak besar, termasuk memicu PTSD dan berbagai masalah menyusui. Jika tidak segera ditangani, trauma ini bisa berlanjut hingga ulang tahun pertama anak, bahkan lebih. Merayakan ulang tahun pertama si Kecil bisa terasa seperti merayakan “hari jadi” trauma tersebut.
Selain itu, kehamilan berikutnya juga bisa menjadi tantangan baru, dengan ibu yang mungkin merasa cemas dan tertekan. Kehamilan selanjutnya sering kali dipenuhi kekhawatiran tentang kemungkinan mengulang pengalaman traumatis, serta pertanyaan apakah kelahiran selanjutnya akan lebih baik atau justru memperburuk keadaan.
Cara Mencegah Trauma dan Kekerasan saat Persalinan
Mencegah trauma dan kekerasan saat persalinan pada ibu hamil, melahirkan, dan menyusui sangat penting untuk menjaga kesejahteraan fisik dan mental mereka. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:
Pertama, memberikan empati dan perhatian pada ibu hamil. Saat ibu merasakan ketidaknyamanan, penting bagi orang di sekitarnya, termasuk pasangan dan tenaga medis, untuk memberikan perhatian dan empati. Hindari pengabaian emosional yang dapat meningkatkan rasa kesepian dan terabaikan.
Kedua, memberikan hak-hak ibu. Pastikan ibu hamil mendapatkan hak-haknya selama kehamilan, persalinan, dan menyusui. Salah satunya adalah melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) segera setelah kelahiran, jika bayi dalam kondisi sehat. Ini penting untuk kesehatan fisik bayi dan memperkuat ikatan emosional ibu.
Ketiga, menghormati otonomi ibu. Prosedur medis seperti operasi caesar harus dilakukan dengan mempertimbangkan persetujuan penuh dari ibu, bukan hanya suami atau keluarga. Ibu memiliki hak penuh atas tubuhnya, dan keputusan medis harus dibuat berdasarkan kondisi kesehatan ibu dan bayi.
Keempat, menyelamatkan jiwa dan mental ibu. Fokus pada keselamatan fisik ibu memang sangat penting, namun kesehatan mental dan emosional ibu juga tidak kalah krusial. Dukung ibu hamil dengan informasi yang jelas, dukungan emosional, serta penguatan bahwa proses kelahiran adalah pengalaman yang harus dilalui dengan penuh perhatian terhadap kebutuhan emosional dan mentalnya. Dukungan ini penting karena bukan hanya keselamatan fisik ibu yang harus diperhatikan, melainkan juga kesehatan jiwa dan mentalnya.
Kelima, pendidikan dan pelatihan untuk tenaga medis. Tenaga medis harus diberikan pelatihan untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan emosional ibu, serta menghindari intervensi medis yang berlebihan atau dilakukan tanpa alasan medis yang jelas. Memberikan informasi yang jelas dan mendengarkan kekhawatiran ibu dapat membantu mencegah trauma psikologis yang mungkin timbul setelah proses kelahiran.
Dengan pencegahan yang tepat, trauma emosional dan fisik selama kehamilan, persalinan, dan masa menyusui dapat dihindari.