Jakarta – Perbedaan signifikan dalam penguasaan bahasa asing antara Indonesia dan Malaysia menjadi sorotan, meskipun kedua negara memiliki kesamaan sejarah sebagai bekas jajahan. Malaysia, yang lama berada di bawah pemerintahan Inggris, umumnya memiliki masyarakat yang fasih berbahasa Inggris selain bahasa Melayu. Sementara itu, Indonesia, yang pernah dijajah Belanda, memiliki sedikit warga yang mampu berbahasa Belanda.
Perbedaan ini, menurut peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, Christopher Reinhart, disebabkan oleh perbedaan pendekatan kolonialisme antara Belanda dan Inggris. Reinhart menjelaskan, Inggris secara sengaja melakukan ‘invasi’ kultural Barat ke masyarakat Melayu, sementara Belanda tidak melakukan hal serupa kepada penduduk Indonesia.
“Snouck Hurgronje, salah satu pejabat pemerintah kolonial, pernah mengatakan bahwa ‘masalah kebudayaan tidak usah dipaksa. Biarlah bertumbuh dengan sendirinya, tanpa menghilangkan budaya lokal,” ujar Reinhart, Selasa (14/8).
Reinhart menambahkan, terdapat dua alasan utama mengapa Belanda mengambil sikap yang berbeda terhadap kebudayaan lokal. Pertama, struktur kolonialisme Belanda menempatkan masyarakat lokal dan orang Belanda dalam tingkatan yang berbeda. Orang Belanda berada di kelas paling atas, sementara penduduk lokal berada di paling bawah. Dalam perspektif mereka, menyebarkan kebudayaan Belanda sama saja dengan menganggap penduduk lokal dan orang Belanda setara secara kultural.
Kedua, Belanda selalu melihat dari perspektif eksploitasi ekonomi sebagai ciri negara kolonial. Reinhart menjelaskan, mereka merasa tidak masalah apabila tidak menyebarkan kebudayaan, yang penting tetap melakukan eksploitasi dan menguntungkan secara ekonomi.
Sikap Belanda ini berlangsung dari fase eksploitasi tanam paksa (1830-1900) hingga politik etis di tahun 1900. “Mereka selalu fokus pada aspek ekonomi dan tidak mau merusak kebudayaan lokal,” lanjut Reinhart. Apalagi setelah politik etis diterapkan, mereka semakin paham bahwa menginvasi kebudayaan lain itu tidak baik.
Kendati demikian, Reinhart menegaskan, bukan berarti penduduk lokal tidak boleh mengadopsi kebudayaan barat. Faktanya, banyak juga kebudayaan barat yang diadopsi penduduk lokal.
Dari perbedaan pendekatan kolonialisme inilah, bahasa lokal, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia tumbuh berkembang. Reinhart menambahkan, orang Indonesia sebetulnya tidak perlu kecewa apabila tidak bisa berbahasa Belanda seperti orang Malaysia yang fasih berbahasa Inggris, sebab bahasa Belanda bukanlah bahasa pergaulan internasional seperti bahasa Inggris.
Warisan kolonial Belanda dalam aspek bahasa di Indonesia justru lebih tampak dalam bentuk kata serapan, seperti “gordijn” menjadi “gorden” atau “bioscoop” menjadi “bioskop”.