Magelang – Candi Borobudur, yang kini menjadi pusat perayaan Waisak dan warisan budaya Indonesia, menyimpan kisah panjang tentang penemuan kembali setelah sempat terlupakan. Ribuan umat Buddha dari berbagai daerah berkumpul di Magelang, Jawa Tengah, untuk merayakan Tri Suci Waisak, memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Buddha Gautama.

Namun, jauh sebelum kemegahan ini, Borobudur pernah terkubur dan terlupakan selama berabad-abad. Candi ini baru kembali mencuat ke permukaan pada awal abad ke-19 berkat peran seorang tokoh Inggris dan informasi dari seorang keturunan Tionghoa.

Sejarah mencatat, Candi Borobudur dibangun antara tahun 750-850 Masehi oleh Dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram Kuno. Namun, seiring berjalannya waktu, candi ini terbengkalai, tertimbun tanah, dan ditutupi rerumputan liar, jauh dari kondisi utuh seperti yang terlihat saat ini, terlebih setelah mengalami berbagai bencana alam.

Keberadaan candi mulai menarik perhatian kembali setelah Tan Jin Sing, seorang Tionghoa yang menjabat sebagai Bupati Yogyakarta, memberikan informasi kepada Letnan Gubernur Jawa, Thomas Stamford Raffles.

Sekitar tahun 1813, Tan Jin Sing melaporkan kepada Raffles bahwa mandornya di Desa Bumisegoro melihat sebuah candi besar. Candi tersebut memang sudah lama ada, namun warga lokal tidak menghiraukannya, sehingga kondisinya sangat memprihatinkan.

Raffles, yang memiliki ketertarikan pada candi-candi kuno, menyambut baik informasi tersebut dan meminta Tan untuk meninjau lokasi. Tan kemudian pergi ke lokasi bersama warga lokal yang sering mengunjungi daerah candi tersebut. Ternyata, informasi awal tentang candi besar itu benar adanya. Tan melihat monumen kuno itu tertutup semak belukar dan tertimbun tanah. Warga lokal yang menemani Tan menyebut nama candi itu Borobudur.

“Ditaksir usianya lebih dari 100 tahun,” kata Tan, seperti dikutip dari penuturan keturunannya, T.S Werdoyo dalam buku Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta (1990).

Dari sinilah, keberadaan Candi Borobudur mulai terungkap. Raffles segera memerintahkan tim untuk melakukan pemugaran besar-besaran. Pemugaran ini juga melibatkan arkeolog Belanda, Christian Cornelius, yang memiliki pengalaman dalam pemugaran candi-candi di Jawa.

Tim Hanningan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015) mencatat, tim yang ditugaskan Raffles, termasuk Tan Jin Sing, Cornelius, dan sekitar 200 warga lokal, segera memulai renovasi Borobudur. Mereka membersihkan rumput liar dan menggali timbunan tanah secara perlahan.

Setelah dua minggu bekerja, kemegahan Borobudur yang sempat terlupakan akhirnya terungkap. Cornelius kemudian menulis deskripsi detail candi tersebut untuk dilaporkan kepada Raffles di Batavia. Sejak saat itu, Candi Borobudur yang sempat terbengkalai menjadi perhatian banyak orang sebagai monumen kuno bersejarah.

Raffles, Tan Jin Sing, dan Cornelius mungkin bukan orang pertama yang secara fisik menemukan Candi Borobudur. Namun, mereka adalah tokoh penting yang berhasil membangkitkan kembali perhatian terhadap Borobudur, terutama dari para ahli dan peneliti Eropa, sehingga candi ini tidak hanya menjadi reruntuhan yang tidak dikenal.

Setelah Inggris meninggalkan Jawa pada 1816, pemerintah kolonial Belanda turut serta dalam upaya mengungkap misteri Candi Borobudur. Melalui proses penggalian dan pemugaran yang panjang, hasil kerja keras tersebut kini dapat dinikmati dan disaksikan oleh seluruh dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *