Jakarta – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengimbau masyarakat, khususnya orang tua, untuk waspada terhadap risiko penggunaan kosmetik pada anak-anak dan remaja. Produk kosmetik yang dijual bebas secara daring (online) dengan warna mencolok dan bentuk lucu, berpotensi mengandung bahan kimia berbahaya dan memiliki kualitas rendah.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM RI, Mohamad Kashuri, menegaskan bahwa kosmetik mainan tidak boleh dianggap remeh. Ia menjelaskan, banyak produk yang menyasar anak-anak ternyata mengandung zat kimia berbahaya. “Meskipun hanya untuk mainan atau boneka, kenyataannya tetap bisa bersentuhan dengan kulit anak. Jika bahan berbahaya digunakan dan produknya tidak memiliki izin edar, risikonya nyata,” ujar Kashuri dalam webinar yang digelar secara online dan offline di Jakarta, Senin (21/7/2025). Zat kimia seperti Azo, formalin, atau rhodamin B, dapat membahayakan kulit sensitif anak.
Kashuri menambahkan, saat ini semua mainan anak yang mengandung unsur kosmetik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan memiliki izin edar dari BPOM. Pengawasan dilakukan melalui sistem tiga pilar, yaitu industri, pemerintah, dan masyarakat.
BPOM menyarankan orang tua untuk melakukan langkah “Cek Klik” sebelum membeli produk, yaitu cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa. “Jika ragu, masyarakat bisa menggunakan aplikasi BPOM Mobile untuk memverifikasi legalitas produk atau bahkan melapor jika ada produk mencurigakan,” katanya.
Sementara itu, Pembina Industri Ahli Muda Kementerian Perindustrian, Miranti Rahayu, menyoroti pentingnya standarisasi industri sebagai bentuk intervensi pemerintah. Menurutnya, hal ini bertujuan untuk menjaga agar pasar tidak dipenuhi produk murah berkualitas rendah yang bisa membahayakan.
“Produk dengan harga murah kerap mengorbankan bahan baku. Inilah kenapa kita butuh standar minimum seperti SNI. Jangan sampai pasar dikuasai produk berbahaya hanya karena murah,” ujar Miranti.
Ia menjelaskan, dalam sistem standarisasi nasional terdapat tiga jenis standar: SNI sebagai batas minimal, Spesifikasi Teknis, dan Pedoman Tata Cara (PTC). SNI bersifat sukarela, namun dapat diberlakukan wajib jika ada kepentingan nasional, termasuk perlindungan anak dan konsumen.
Produk yang diproduksi di bawah Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 10-33 harus mengikuti pembinaan wajib dari Kementerian Perindustrian. “Jika kosmetik anak atau mainan berunsur kosmetik terbukti membahayakan, pemerintah bisa mewajibkan SNI untuk jenis produk tersebut,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Kashuri dan Miranti sepakat bahwa perlindungan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Orang tua diminta aktif mendampingi anak saat bermain kosmetik, memastikan produk dibeli dari toko resmi, dan memeriksa izin edar sebelum digunakan.
“Kalau beli kosmetik online dan kemasannya sudah rusak, sebaiknya jangan dipakai. Bisa jadi sudah tercemar mikroba,” tegas Kashuri.