Jakarta – Fenomena “brain rot” atau “otak busuk” kini menjadi perhatian serius di era digital. Istilah ini menggambarkan kondisi melemahnya fungsi otak akibat konsumsi konten digital berkualitas rendah secara terus-menerus.
Istilah slang internet ini, yang terpilih sebagai Word of the Year, menandakan meningkatnya kesadaran global akan dampak negatif konsumsi digital yang tidak sehat, terutama dari platform media sosial.
Menurut Healthline, brain rot umumnya melibatkan konsumsi konten digital singkat dan cepat tanpa proses berpikir yang mendalam, terutama di media sosial. Hal ini berpotensi menurunkan kemampuan berpikir dan daya ingat seseorang.
Meskipun bukan merupakan kondisi medis formal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan, memicu masalah seperti kelelahan mental dan kesulitan fokus.
Paparan berlebihan terhadap konten daring, seperti media sosial dan gim video, dapat memicu perilaku negatif seperti doomscrolling dan kecanduan media sosial. Kebiasaan ini, seiring waktu, dapat menyebabkan hilangnya kepekaan emosional dan kelelahan emosional, serta mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Salah satu penyebab utama brain rot adalah kebutuhan akan kepuasan instan. Media sosial memfasilitasi konsumsi informasi dan hiburan secara cepat, yang dapat memicu pelepasan dopamin.
Konten hiburan instan seperti video pendek (Youtube shorts, Instagram reels, TikTok), konten tantangan ekstrem, hingga video prank sensasional dapat mendorong pola konsumsi digital yang dangkal, menciptakan lingkaran tak berujung dan toksik.
Menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengonsumsi media tanpa berpikir dapat berdampak negatif pada fungsi otak, yang dapat memicu sejumlah masalah.
“Kondisi ini dapat menyebabkan perasaan kewalahan pada otak, desensitisasi emosional, pandangan negatif terhadap diri sendiri atau dunia, masalah memori, kesulitan membuat keputusan atau rencana, hingga menarik diri dari pergaulan,” demikian hasil penelitian yang dikutip pada Jumat (27/6/2025).