Jakarta – Popularitas matcha, teh hijau bubuk asal Jepang, melonjak tajam hingga memicu kelangkaan dan kenaikan harga. Permintaan yang meningkat pesat, baik di dalam maupun luar negeri, membuat para petani dan pengecer di Jepang kewalahan.
Tokyo – Pemilik Atelier Matcha, Chitose Nagao, mengaku terkejut dengan antusiasme masyarakat terhadap produknya. “Saya tak pernah membayangkan kedai kami akan diserbu pembeli hingga antrean mengular sebelum buka,” ujarnya, Jumat (5/9/2025). Bahkan, lanjutnya, menjelang sore hari, banyak pelanggan dari luar negeri yang datang, namun sayangnya, kaleng bubuk matcha sudah ludes terjual.
Kini, bisnis Nagao berkembang pesat dengan dua toko di Jepang, satu di Ho Chi Minh, Vietnam, dan satu gerai baru yang akan segera dibuka di Cebu, Filipina.
Lonjakan popularitas matcha ini menimbulkan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah peningkatan permintaan yang signifikan, dipicu oleh informasi mengenai kandungan antioksidan yang tinggi pada matcha.
Data menunjukkan ekspor teh hijau dari Jepang meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir, mencapai 36,4 miliar yen (Rp 4 triliun) pada tahun lalu. Amerika Serikat menjadi tujuan utama, menerima 44% dari total pengiriman, sebagian besar dalam bentuk bubuk matcha.
Pemerintah Jepang berupaya mengatasi masalah ini dengan mempertimbangkan pemberian subsidi kepada petani untuk meningkatkan produksi tencha, bahan baku matcha.
Selain itu, Jepang juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja. Proses panen tencha membutuhkan banyak tenaga kerja untuk memanen, mengukus, dan mengeringkan daun sebelum digiling menjadi bubuk.
Para pengecer pun merasakan dampak dari kenaikan harga matcha. Asosiasi Teh Jepang Global mencatat harga tencha di Kyoto melonjak 170% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 8.235 yen (Rp 912.700) per kilogram. Rekor tertinggi sebelumnya tercatat pada tahun 2016, yaitu 4.862 yen (Rp 538.900) per kilogram.
Kaminari Issa, pemilik empat toko yang menjual berbagai produk matcha di distrik Asakusa, Tokyo, mengatakan bahwa persediaan matcha semakin sulit didapatkan. “Kami menerima banyak pesanan, bahkan hingga satu ton matcha,” ungkapnya. “Kami senang, namun barang yang bisa kami jual terbatas,” imbuhnya.
Untuk mengatasi kelangkaan, beberapa toko menerapkan pembatasan pembelian guna mencegah penimbunan dan penjualan ilegal.
Data Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menunjukkan bahwa ekspor teh hijau Jepang, termasuk matcha, meningkat 25% menjadi 36,4 miliar yen (US$252 juta) pada tahun 2024. Peningkatan ini didorong oleh meningkatnya permintaan teh bubuk seperti matcha. Berdasarkan volume, ekspor teh hijau Jepang naik 16%.