Jakarta – Gedung MPR/DPR RI di Senayan, Jakarta, bukan hanya sekadar bangunan, melainkan juga simbol semangat bangsa. Dengan kubah setengah lingkaran berwarna hijau yang khas, gedung ini menjadi ikon yang mudah dikenali di antara bangunan pemerintahan lainnya.
Arsitek Indonesia, Soejoedi Wirjoatmodjo, yang menempuh pendidikan di Technische Universität Berlin Barat, adalah sosok di balik desain megah ini. Ia merancang gedung dengan filosofi kepakan sayap burung yang hendak terbang, melambangkan semangat bangsa Indonesia untuk bangkit dan bergerak maju.
Pembangunan gedung ini dimulai pada 8 Maret 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, yang mencetuskan ide pendirian gedung, awalnya menargetkan bangunan ini sebagai pusat kegiatan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces), forum internasional yang diprakarsai Indonesia.
Perencanaan gedung berjalan cepat, Soekarno mengesahkan rancangan arsitektur Soejoedi pada 22 Februari 1965. Namun, proyek sempat terhenti akibat situasi politik pasca peristiwa G30S PKI.
Pembangunan akhirnya dilanjutkan kembali lewat Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 79/U/Kep/11/1966 tanggal 9 November 1966. Seiring dengan perubahan politik nasional, fungsi gedung pun dialihkan menjadi tempat berkantornya lembaga legislatif Indonesia yaitu MPR, DPR, dan kini juga DPD.
Gedung yang sering disebut sebagai Gedung Nusantara ini menjadi saksi berbagai keputusan penting bangsa. Dari sidang-sidang MPR yang mengubah arah sejarah politik hingga rapat-rapat DPR yang membahas kebijakan negara, semuanya berlangsung di bawah atap rancangan Soejoedi.
Kompleks parlemen Senayan tidak hanya terdiri dari Gedung Nusantara dengan kubah ikoniknya. Kawasan ini juga mencakup Gedung Nusantara I hingga V, Gedung Bharana Graha, Gedung Sekretariat Jenderal MPR/DPR/DPD, Gedung Mekanik, serta Masjid Baiturrahman. Setiap bangunan memiliki fungsi tersendiri, namun tetap saling melengkapi sebagai pusat aktivitas legislatif.