Jakarta – Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa harga barang di supermarket seringkali berakhir dengan angka ganjil seperti Rp9.999, bukan Rp10.000? Ternyata, strategi ini bukan tanpa alasan.
Fenomena ini dikenal sebagai ‘psychological pricing’, sebuah taktik yang dirancang untuk membuat harga suatu produk terasa lebih murah di mata konsumen sehingga meningkatkan daya beli. Toko atau swalayan menerapkan berbagai strategi penetapan harga yang secara khusus dirancang untuk mendorong Anda membelanjakan lebih dari yang Anda rencanakan awalnya.
Menurut Paddle pada Jumat (27/6/2025), penetapan harga psikologis adalah praktik bisnis dengan menetapkan harga sedikit di bawah angka bulat. Idenya adalah bahwa pelanggan akan membaca harga yang sedikit diturunkan dan menganggapnya jauh lebih rendah.
Sebagai contoh, barang dengan harga Rp99.000 akan lebih sering disebut sebagai Rp90.000 daripada Rp100.000, sehingga menciptakan ilusi harga yang jauh lebih terjangkau.
Praktik ini, yang juga dikenal sebagai ‘Charm Pricing’ atau “Penetapan Harga Menarik,” bertujuan untuk mendorong pelanggan untuk membeli lebih banyak produk atau bersedia membayar harga yang lebih tinggi.
Charm pricing sendiri adalah istilah untuk penggunaan angka 9 di akhir harga. Studi dari MIT dan Universitas Chicago membuktikan bahwa harga yang diakhiri dengan angka 9 meningkatkan permintaan pelanggan.
Hal ini didorong oleh cara kita membaca dari kiri ke kanan. Saat melihat harga Rp19.999, kita cenderung fokus pada angka 1 di awal dan menganggapnya lebih dekat ke Rp10.000 daripada Rp20.000.
Intinya, mengakhiri harga dengan angka 9 memberikan kesan bahwa Anda menawarkan penawaran yang menguntungkan.
Bagi para pelaku usaha, tak ada salahnya mencoba strategi ini. Jika harga produk Anda Rp100.000, coba turunkan menjadi Rp99.999 dan amati perbedaannya pada penjualan.