Jakarta – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor industri di tanah air memicu kekhawatiran di kalangan pekerja, terutama generasi Z. Survei terbaru dari tim MarketWatch Guides menunjukkan bahwa mayoritas pekerja telah mengambil langkah antisipatif.
Survei tersebut mengungkapkan, sebanyak 70% pekerja telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan PHK. “Karyawan dari berbagai generasi kini lebih waspada dan proaktif dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi,” ujar seorang analis dari MarketWatch Guides dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
Hasil survei menunjukkan bahwa Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, menjadi kelompok yang paling merasakan dampak dari isu PHK ini. Hampir tiga per lima (57%) pekerja Gen Z mengaku cemas akan potensi PHK, dan sebanyak 88% telah mengambil langkah-langkah persiapan. Bahkan, satu dari enam pekerja Gen Z (16%) menduga akan terkena PHK pada akhir tahun 2024.
Sementara itu, rekan-rekan milenial (lahir antara 1981 hingga 1996) juga merasakan kekhawatiran serupa, dengan 42% di antaranya melaporkan kecemasan akan PHK. Secara umum, 70% pekerja telah mengambil langkah-langkah persiapan, seperti menabung lebih banyak (40%), aktif mencari informasi lowongan kerja (32%), dan melamar pekerjaan baru (24%).
Data dari Goldman Sachs menunjukkan bahwa pengangguran di kalangan pekerja teknologi berusia 20 hingga 30 tahun telah meningkat sekitar 3% sejak awal 2025. Lonjakan ini lebih tinggi dibandingkan pekerja yang lebih tua atau profesional muda di sektor lain. Industri teknologi sendiri telah mengalami lebih dari 50.000 PHK tahun ini, dengan Microsoft, Meta, dan Google sebagai perusahaan yang paling banyak melakukan PHK.
Banyak PHK ini disebabkan oleh otomatisasi tugas-tugas repetitif oleh kecerdasan buatan (AI). Lowongan pekerjaan untuk peran entry-level juga menurun tajam, dengan penurunan sebesar 35% di AS sejak 2023. Hal ini mempersulit Gen Z untuk membangun karier yang stabil.
Hampir separuh pencari kerja Gen Z kini percaya bahwa AI telah mengurangi nilai gelar sarjana mereka. Akibatnya, banyak profesional muda beralih ke pelatihan intensif, sertifikasi, dan kewirausahaan untuk meningkatkan relevansi dan daya saing mereka di pasar kerja.