Jakarta – Kelas menengah seringkali tanpa sadar melakukan kesalahan finansial yang menghambat akumulasi kekayaan. Pengeluaran yang tampak sepele, namun jika diakumulasikan, dapat menggerogoti tabungan dan menghalangi kebebasan finansial.
Christopher William, pakar keuangan dan pendiri Balanced News Summary, mengungkapkan bahwa masalah paling mendasar adalah pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan. “Masalah paling merusak adalah ketika seseorang menghabiskan lebih banyak daripada yang mereka hasilkan,” ujarnya, seperti dikutip dari Yahoo Financial, Kamis (7/7/2025). Kebiasaan ini, menurutnya, umum terjadi di kalangan kelas menengah dan menjadi awal dari jerat utang jangka panjang.
Berikut adalah tujuh jenis pengeluaran yang sering dilakukan kelas menengah, namun justru berpotensi menghambat perjalanan menuju kebebasan finansial:
Pertama, utang konsumtif dan cicilan. Jonathan Merry dari Moneyzine berpendapat bahwa utang konsumtif adalah jebakan yang seringkali tidak disadari. Banyak keluarga kelas menengah mengambil pinjaman besar tanpa memahami risiko yang menyertainya.
Senada dengan Merry, Carter Seuthe dari Credit Summit Consolidation menambahkan bahwa utang kartu kredit dan cicilan lainnya dapat membebani keuangan dalam jangka panjang. “Begitu bunga berjalan, sulit untuk keluar dari lingkaran itu,” ungkapnya.
Kedua, langganan dan membership yang tidak terpakai. Merry juga menyoroti kebiasaan berlangganan berbagai layanan streaming atau keanggotaan gym mahal yang jarang dimanfaatkan sebagai sumber kebocoran keuangan. “Kelihatannya murah, tapi kalau dijumlahkan, jadi beban bulanan yang besar,” jelasnya.
Ketiga, investasi pada barang yang nilainya menurun. Steven Neeley dari Fortress Capital Advisors menyarankan untuk menghindari pembelian mobil baru atau barang mewah lainnya hanya demi terlihat “berkelas”. “Daripada mobil mahal yang nilainya turun drastis, lebih baik beli mobil bekas yang masih layak pakai,” katanya. Ia memperingatkan bahwa membeli mobil seharga Rp1 miliar dan menggantinya setiap 3-5 tahun dapat menghabiskan ratusan juta rupiah dalam jangka panjang.
Keempat, menanggung hidup anak yang sudah dewasa. Merry mengungkapkan bahwa banyak orang tua dari kelas menengah yang masih membiayai anak-anak mereka yang sudah dewasa, bahkan mendekati masa pensiun. Menurutnya, hal ini dapat mengganggu tabungan pensiun secara signifikan. “Lebih baik bantu mereka mandiri, dan fokus ke dana hari tua Anda sendiri,” sarannya.
Kelima, frugal berlebihan justru merugikan. Percy Grunwald dari Compare Banks menyatakan bahwa berhemat memang penting, namun jika dilakukan secara berlebihan justru dapat menimbulkan biaya tersembunyi. “Contohnya, membeli barang murah tapi cepat rusak justru lebih boros dalam jangka panjang,” jelasnya.
Keenam, gaya hidup melebihi kemampuan. Dennis Shirshikov dari Awning menyoroti fenomena lifestyle inflation, yaitu gaya hidup yang meningkat seiring dengan kenaikan gaji, sebagai jebakan klasik. “Banyak yang merasa sah membeli rumah besar atau mobil mewah hanya karena sudah disetujui bank. Padahal itu bisa menghambat investasi jangka panjang,” ujarnya.
Ketujuh, pengeluaran karena tekanan sosial. Shirshikov juga menyinggung keinginan untuk terlihat sukses di mata lingkungan sebagai penyebab boros yang jarang disadari. “Saya punya kolega yang gajinya besar, tapi selalu habis demi gadget terbaru atau liburan mewah, hanya agar tidak kalah dengan teman-temannya,” ungkapnya. Ia menyimpulkan bahwa mentalitas “biar kelihatan kaya” dapat menjadi musuh terbesar bagi kestabilan finansial.