Jakarta – Perselingkuhan kerap menjadi mimpi buruk dalam hubungan, berpotensi menghancurkan ikatan asmara dan rumah tangga. Namun, faktor apa saja yang mendorong seseorang untuk berselingkuh, bahkan tanpa adanya niat awal?

Konselor eksekutif dan terapis pasangan, Lisa Oake, mengungkapkan bahwa pelaku perselingkuhan seringkali bukan individu dengan karakter negatif seperti kasar, narsis, atau kecanduan seks. “Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang baik, pekerja keras, baik hati, dan berdedikasi pada karier serta keluarga mereka,” ungkapnya, Jumat (27/6/2025).

Oake memaparkan lima faktor utama yang dapat mendorong seseorang ke dalam perselingkuhan:

Pertama, dorongan untuk selalu menjadi ‘anak baik’. Banyak klien Oake yang terlibat perselingkuhan selalu merasa harus menjadi sosok yang baik, selalu menuruti orang tua, belajar dengan giat, meraih pekerjaan yang stabil, menikah, memiliki anak, dan memenuhi setiap ekspektasi masyarakat. Bagi mereka, cinta dan penerimaan di masa kecil terkait erat dengan pencapaian. Mereka seringkali mencapai usia paruh baya tanpa pemahaman yang jelas tentang diri mereka sendiri. Ketika perasaan tidak nyaman muncul karena ada sesuatu yang hilang, mereka terkadang mencari pelarian dalam perselingkuhan untuk mengisi kekosongan tersebut.

Kedua, perfeksionisme yang berlebihan. “Tidak mengherankan jika perfeksionisme adalah sifat yang saya lihat pada hampir semua klien saya yang berkinerja tinggi,” kata Oake. Perfeksionisme seringkali merupakan respons terhadap trauma masa lalu. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak stabil atau menerima persetujuan yang tidak konsisten seringkali percaya bahwa melakukan segala sesuatu dengan sempurna akan membuat mereka merasa aman. Seiring waktu, mereka merasa lelah memaksakan standar tinggi pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. Ketika perselingkuhan muncul, mereka mungkin tiba-tiba menyerah untuk berusaha sempurna dan justru semakin terpuruk. Bagi mereka, hubungan terlarang bisa terasa seperti pembebasan dari ekspektasi yang tidak realistis, sebuah pelipur lara yang meredakan kekakuan yang selama ini membingkai hidup mereka.

Ketiga, kedewasaan sebelum waktunya. Beberapa orang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya karena tuntutan lingkungan keluarga. Contohnya, ketika orang tua tidak mampu menjalankan peran mereka, anak-anak terpaksa mengambil alih tanggung jawab tersebut. Anak-anak yang dibesarkan sebagai orang tua seringkali merasa puas dengan keberhasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan orang lain. Namun, pada akhirnya, mereka mulai merasa kesal terhadap orang-orang yang mereka bantu. Ketika perselingkuhan terjadi, mereka merasionalisasikannya dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa mereka telah menghabiskan seluruh hidup mereka untuk memberi kepada orang lain, dan sekarang saatnya untuk melakukan sesuatu hanya untuk diri mereka sendiri.

Keempat, pernikahan yang penuh kekerasan atau penekanan emosi. Seperti yang diungkapkan oleh terapis pasangan ternama, Esther Perel, dalam bukunya “The State of Affairs: Rethinking Infidelity,” korban perselingkuhan tidak selalu menjadi korban dalam hubungan tersebut. Beberapa klien Oake yang terlibat perselingkuhan ternyata sebelumnya menjadi korban kekerasan fisik, emosional, atau verbal. Perselingkuhan bisa menjadi bentuk pembalasan bawah sadar, sebuah keputusan untuk menghancurkan hubungan selamanya demi menyelamatkan diri. Tidak ada jalan kembali setelah perselingkuhan terbongkar, dan kehancuran tersebut memberi mereka kesempatan untuk memulai hidup baru.

Kelima, pengalaman kehilangan yang baru saja dialami. Oake seringkali mengajukan pertanyaan pertama kepada klien yang mempertimbangkan perselingkuhan, yaitu apakah mereka baru saja kehilangan seseorang atau sesuatu yang dekat dengan mereka. Kesedihan dapat menjadi pemicu, dan seringkali seseorang yang baru saja kehilangan orang tua akan merenungkan kembali hubungan dan prioritas mereka saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *