Jakarta – Mitos pesugihan Nyi Blorong, yang menjanjikan kekayaan instan dengan imbalan nyawa, menjadi sorotan dalam catatan kolonial Belanda. Kisah seorang nelayan miskin bernama Pah-Sidin yang rela menggadaikan jiwanya demi kekayaan dari Nyi Blorong, diabadikan oleh penulis dan pelancong Augusta de Wit dalam bukunya, Java, Facts and Fancies (1905).

De Wit menggambarkan transformasi hidup Sidin usai pertemuannya dengan Nyi Blorong. “Pah-Sidin kini bagaikan Raja terkaya: ia mempunyai rumah indah, dengan lumbung padi, kuda-kuda yang bagus, perkebunan palem dan jambu yang luas serta segala jenis buah-buahan lainnya, dan sawah-sawah subur,” tulisnya.

Sebelumnya, pada akhir abad ke-19, catatan tersebut mengungkap bahwa Sidin hidup serba kekurangan. Istrinya bekerja membanting tulang sebagai pembatik, penenun, dan penjual buah-buahan. Sementara itu, Sidin lebih sering menghabiskan waktunya untuk berjudi sabung ayam.

Hingga suatu hari, setelah dimarahi istrinya karena pulang tanpa membawa uang dan kehabisan beras, Sidin nekat pergi ke pantai. Ia menyusuri sebuah gua dengan tujuan memanggil Nyi Blorong.

Di dalam gua, Sidin menabur bunga, membakar kemenyan, dan memohon, “Nyi Blorong! Aku mohon kepadamu. Aku miskin dan benar-benar celaka. Maukah kamu memberi uang? Aku bakal menyerahkan jiwaku kepadamu,” seperti yang dikutip de Wit.

Tak lama kemudian, suara Nyi Blorong terdengar menjawab permohonan Sidin. Gua tersebut seketika berubah menjadi rumah berlapis emas, namun fondasinya tersusun dari sisa-sisa manusia, yang menjadi simbol bahwa setiap harta yang diperoleh setara dengan nyawa. Meski merasa ngeri, Sidin tetap menerima tawaran tersebut.

De Wit menuliskan, Sidin kemudian bercumbu dengan Nyi Blorong, yang menampakkan wujud aslinya sebagai perempuan bersisik dengan ekor ular, namun mampu menghasilkan emas. Kehidupan Sidin berubah drastis; ia bercerai, menikahi tiga perempuan muda, dan hidup makmur selama bertahun-tahun.

Namun, sesuai perjanjian yang telah dibuat, Nyi Blorong datang untuk menagih nyawa Sidin. Sidin berusaha menghindar dengan mengorbankan pembantu dan adiknya sebagai tumbal, hingga akhirnya ia kehabisan cara dan menyerahkan diri. Sidin pun tewas, meninggalkan seluruh hartanya.

Antropolog George Quinn, dalam bukunya An Excursion to Java’s Get Rich Quick Tree (2009), berpendapat bahwa kisah-kisah semacam ini seringkali muncul dari rasa iri masyarakat terhadap orang kaya yang sumber kekayaannya tidak terlihat.

“Kekayaan yang tak bisa dijelaskan kerja kerasnya, dalam budaya Jawa, kerap dikaitkan dengan bantuan makhluk gaib,” tulis Quinn.

Sementara itu, Pramoedya Ananta Toer dalam Sastra, Sensor, dan Negara (1995) menyebutkan bahwa mitos Nyi Roro Kidul, sosok yang sering dikaitkan dengan Nyi Blorong, diciptakan oleh pujangga Mataram setelah kekalahan di Pantai Utara Jawa. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti Belanda agar tidak menguasai Pantai Selatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *