Jakarta – Di tengah gempuran teknologi dan digitalisasi, profesi petani justru kembali dilirik generasi Z. Laporan Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum (WEF) bahkan memprediksi sektor pertanian akan mengalami pertumbuhan signifikan hingga 2030.
WEF memperkirakan sektor pertanian akan membutuhkan tambahan 35 juta pekerja dalam lima tahun mendatang. Hal ini mengindikasikan bahwa profesi petani yang selama ini dianggap kuno berpotensi menjadi primadona baru.
Menurut WEF, meningkatnya kebutuhan pangan global dan ancaman krisis iklim menjadikan pertanian sebagai sektor strategis yang kini kekurangan tenaga kerja muda.
Presiden World Farmers’ Organisation, Arnold Puech Pays d’Alissac, menekankan pentingnya regenerasi petani. “Banyak petani akan segera pensiun. Ini membuka peluang besar bagi generasi muda,” ujarnya dalam wawancara di Forum Ekonomi Dunia di Davos.
Peningkatan permintaan pangan global sejalan dengan proyeksi populasi dunia yang mencapai 10,3 miliar jiwa pada 2080-an. World Resources Institute memperkirakan dunia perlu menutup kesenjangan pangan sebesar 56% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi.
Selain petani, profesi “jadul” lain yang kembali diminati adalah pekerjaan di bidang pertukangan dan pengelasan. Pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) memicu kekhawatiran akan PHK di berbagai sektor, mendorong sebagian pekerja kantoran untuk mencari alternatif pekerjaan.
Sejumlah sekolah di Amerika Serikat (AS) mulai menawarkan pelatihan keahlian pertukangan dan pengelasan dengan sentuhan teknologi modern.
Konsultan pendidikan pemerintah bagian Wisconsin, John Mihm, mengungkapkan bahwa AI menjadi salah satu faktor pendorong minat terhadap keahlian pertukangan. “Ada pergeseran paradigma. [Pekerjaan tangan] kini adalah pekerjaan dengan keahlian tinggi dan gaji tinggi sehingga menarik buat banyak orang, karena mereka langsung melakukan segalanya sendiri,” kata Mihm.











