Jakarta – Kampanye “Healthy Kids, Safer Future” yang menyasar puluhan sekolah di Banten, Yogyakarta, dan Jawa Timur, menjadi salah satu upaya kolaboratif lintas sektor dalam memperbaiki sanitasi sekolah. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap data yang menunjukkan lebih dari 290 ribu sekolah di Indonesia belum memiliki akses memadai terhadap air bersih dan sanitasi.

Kondisi tersebut, menurut Bank Dunia, membuat jutaan siswa berisiko terpapar penyakit menular. Padahal, mencuci tangan dengan sabun dapat mencegah hingga 40% kasus diare. Kampanye ini tidak hanya berfokus pada perbaikan fasilitas, tetapi juga melibatkan siswa sebagai agen perubahan melalui edukasi gaya hidup bersih sejak dini.

President Human Initiative, Tomy Hendrajati, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/7/2025), menekankan pentingnya sanitasi bagi generasi penerus. “Anak-anak kita sekarang adalah generasi penerus Indonesia Emas 2045. Tapi bagaimana mereka bisa tumbuh optimal kalau akses sanitasi masih jadi kendala?” ujarnya.

Tomy menjelaskan bahwa program ini mengandalkan tiga pilar: penguatan peran keluarga, komunitas, dan sekolah. Salah satu strategi yang diterapkan adalah mendorong munculnya “dokter kecil” di tiap sekolah. “Kami mendorong munculnya ‘dokter kecil’ di tiap sekolah, agar ada edukasi berkelanjutan yang dipahami dan dijalankan langsung oleh anak-anak,” lanjutnya.

Muhammad Deni Saputra, siswa kelas 5 SDN Cinagara 2 Bogor, adalah salah satu contoh dokter kecil yang aktif membantu teman-temannya. “Aku senang bisa bantu teman. Kalau ada yang pingsan atau luka, aku bantu sebisaku,” kata Deni.

Kepala SDN Cinagara 2, Muhidin, mengamini efektivitas peran dokter kecil di sekolahnya. “Namanya anak-anak, pasti ada saja yang terluka, entah pas menyerut pensil tergores atau jatuh karena main. Nah, dokter kecil ini langsung tanggap,” ujarnya. Muhidin menambahkan bahwa para dokter kecil telah mendapatkan penyuluhan dari puskesmas terdekat. “Mereka sudah dapat penyuluhan dari puskesmas terdekat, jadi tahu harus bilang ‘jangan panik’, tahu cara menangani luka awal. Efektif sekali,” ungkapnya.

Muhidin juga menyoroti perubahan perilaku siswa terkait kebersihan. “Dulu anak-anak selesai jajan langsung masuk kelas dengan tangan kotor. Sekarang, mereka antre cuci tangan dulu. Bahkan saling mengingatkan,” katanya.

Senada dengan itu, dr. Nadhira Afifa, MPH, menekankan pentingnya program ini dalam menekan angka stunting. “Ini bukan sekadar membagikan sabun atau fasilitas cuci tangan. Tapi bagaimana membuatnya berkelanjutan dan dimiliki oleh komunitas sekolah itu sendiri,” kata Nadhira.

Menurut Nadhira, sanitasi adalah bagian penting dari pendekatan nutrition-sensitive dalam penanganan masalah gizi anak. “Kalau kita bicara stunting, kita harus mulai dari kebiasaan hidup sehat. Dan itu nggak bisa instan. Harus konsisten dan lintas sektor,” tegasnya.

Kementerian Kesehatan menyambut baik kolaborasi ini. Kepala Sub Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Ir. Dina Agoes Soelistijani, M.Ke, menyatakan bahwa Kemenkes melihat kolaborasi ini strategis untuk mempercepat perubahan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah. “Tapi tentu saja peran orang tua tetap penting,” imbuhnya.

Program yang berlangsung sejak Juli hingga November 2025 ini mencakup pembangunan fasilitas air bersih, edukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta pelibatan aktif komunitas sekolah. Kampanye ini merupakan bagian dari inisiatif sosial yang telah berjalan sejak 2022 dan didukung oleh sejumlah pelaku usaha, termasuk Guardian Indonesia, yang telah menyalurkan lebih dari 50 ribu produk kebersihan dan membantu pembangunan sanitasi sekolah melalui program sosial Guardiancares.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *