Jakarta – Studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation mengungkapkan adanya korelasi signifikan antara pengalaman menjadi korban penguntitan (stalking) pada perempuan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan stroke.
Penelitian yang mengamati lebih dari 66.000 perempuan selama 20 tahun ini menemukan bahwa perempuan yang melaporkan menjadi korban penguntitan oleh pasangan saat ini, mantan pasangan, atau orang lain, memiliki kemungkinan 41 persen lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit kardiovaskular dibandingkan mereka yang tidak melaporkan pengalaman serupa.
Bahkan, risiko tersebut meningkat secara signifikan pada perempuan yang telah mengajukan perlindungan dari negara. Kelompok ini memiliki kemungkinan 70 persen lebih besar untuk menderita penyakit jantung atau stroke.
Karestan Koenen, penulis senior studi tersebut yang juga profesor epidemiologi psikiatri di Universitas Harvard, AS, menyoroti bahwa penguntitan seringkali dianggap remeh karena tidak melibatkan kontak fisik. “Bagi banyak orang, penguntitan tampaknya bukan pengalaman yang serius, karena seringkali tidak melibatkan kontak fisik. Namun, penguntitan memiliki konsekuensi psikologis serius yang dapat berimplikasi fisik,” katanya.
Penguntitan sendiri didefinisikan sebagai serangkaian perilaku berulang yang tidak diinginkan, termasuk memata-matai, kehadiran tamu tak diundang, atau pelecehan daring.
Studi ini juga menyoroti kurangnya perhatian terhadap penguntitan dalam penelitian medis, meskipun dampaknya dapat menimbulkan trauma psikologis mendalam dan berpotensi mempengaruhi kesehatan fisik.
Pada awal penelitian, tidak ada peserta perempuan yang menderita penyakit kardiovaskular. Penyakit jantung dan stroke dilaporkan sendiri oleh peserta dan kemudian diverifikasi melalui rekam medis. Selama dua dekade berikutnya, sekitar 3 persen perempuan mengalami penyakit kardiovaskular, dengan risiko yang jauh lebih tinggi dialami oleh mereka yang pernah menjadi korban penguntitan.











