Jakarta – Peneliti dari Quadram Institute mengungkapkan bahwa jawaban atas berbagai pertanyaan medis bisa jadi tersembunyi dalam hal yang selama ini diabaikan, yaitu feses. Hal ini membuka harapan baru dalam deteksi dini kanker pankreas yang mematikan.

Deteksi dini kanker pankreas, khususnya jenis pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC), kini menemukan titik terang. Studi terbaru mengungkap bahwa jejak biologis dalam tinja dapat menjadi kunci pendeteksi, meskipun gejala awal kanker seringkali tidak disadari karena mirip penyakit ringan lainnya.

Melansir Science Alert, kanker pankreas jenis PDAC tumbuh di saluran pankreas yang terhubung langsung ke usus kecil. Kondisi ini memungkinkan tinja menyimpan jejak biologis dari kondisi organ dalam, termasuk kanker.

Selama ini, kanker pankreas sering terlambat terdeteksi karena gejalanya seperti kelelahan kronis, gangguan metabolisme energi, atau nyeri yang tidak jelas penyebabnya sering dianggap ringan.

Namun, melalui pengambilan sampel feses, peneliti kini dapat menganalisis DNA bakteri di dalam usus menggunakan teknologi sekuensing gen 16S rRNA. Teknik ini memungkinkan identifikasi jenis dan jumlah spesies bakteri dalam usus, yang ternyata berbeda signifikan antara orang sehat dan pasien kanker pankreas.

Studi internasional tahun 2025 yang melibatkan peneliti dari Finlandia dan Iran menemukan bahwa pasien PDAC memiliki keragaman bakteri usus yang jauh lebih rendah dibandingkan orang sehat.

“Pola bakteri yang muncul bisa digunakan sebagai ‘sidik jari’ biologis untuk membedakan mana yang menderita kanker,” ujar salah satu peneliti dalam studi tersebut. Tim kemudian mengembangkan model kecerdasan buatan (AI) yang mampu mengidentifikasi penderita kanker pankreas hanya berdasarkan profil mikrobioma mereka dan hasilnya sangat akurat.

Penelitian mikrobioma usus berkembang pesat. Metode terbaru seperti shotgun metagenomic sequencing kini mampu memetakan seluruh genom bakteri secara detail, bahkan mendeteksi transfer bakteri antarindividu.

Pendekatan ini mengubah cara pandang dunia medis, dari tubuh manusia sebagai sistem terisolasi, menjadi ekosistem kompleks bersama mikroba yang tinggal di dalamnya. Human plus mikrobiome kini menjadi paradigma baru dalam ilmu kesehatan.

Pendekatan ini juga mulai diterapkan dalam penelitian kanker kolorektal dan penyakit lainnya. Di Quadram Institute, lebih dari seribu sampel tinja telah dianalisis untuk memetakan perilaku bakteri dalam kanker usus besar.

Interaksi antara bakteri dan kanker sangat kompleks. Tidak hanya kanker yang bisa mengubah ekosistem mikroba, tetapi komposisi mikroba juga dapat mempercepat atau memperlambat perkembangan penyakit. Fenomena serupa juga ditemukan pada pasien Parkinson.

Meski teknologi ini masih dalam tahap awal untuk diterapkan di klinik, peneliti optimistis bahwa mikrobioma bisa menjadi kunci untuk deteksi dini kanker mematikan. Dengan bantuan AI dan bioteknologi, deteksi kanker mungkin tak lagi bergantung pada gejala, tetapi bisa dimulai dari yang kita buang setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *