Jakarta – Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Physiology mengungkap adanya korelasi antara frekuensi buang air kecil dan tingkat stres seseorang. Studi ini menyoroti pentingnya hidrasi dalam mengelola respons tubuh terhadap tekanan.

Penelitian tersebut menemukan bahwa individu yang mengalami stres cenderung memiliki urine dengan warna yang lebih gelap dan pekat. Selain itu, dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh juga dikaitkan dengan kadar kortisol, hormon stres, yang lebih tinggi.

Science Alert melaporkan pada Jumat (27/6/2025), studi ini melibatkan orang dewasa muda yang sehat, yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan asupan cairan harian mereka. Kelompok pertama mengonsumsi kurang dari 1,5 liter air per hari, sementara kelompok kedua melebihi rekomendasi standar, yaitu sekitar dua liter untuk wanita dan 2,5 liter untuk pria.

Setelah menjalani pola minum ini selama seminggu, para peserta dihadapkan pada tes stres di laboratorium. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok merasa gugup dan mengalami peningkatan detak jantung yang serupa. Namun, kelompok dengan asupan cairan rendah menunjukkan lonjakan kortisol yang jauh lebih signifikan. Respons ini, jika terjadi berulang kali dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan masalah kesehatan.

Peningkatan kortisol kronis telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, masalah ginjal, dan diabetes.

Menariknya, peserta yang kurang terhidrasi tidak melaporkan rasa haus yang lebih kuat dibandingkan dengan peserta yang terhidrasi dengan baik. Namun, kondisi tubuh mereka menunjukkan hal yang sebaliknya.

Warna urine yang lebih gelap dan pekat merupakan indikasi dehidrasi. Hal ini menunjukkan bahwa rasa haus tidak selalu menjadi indikator yang dapat diandalkan untuk menentukan kebutuhan cairan tubuh.

Ketika dehidrasi terdeteksi, otak melepaskan vasopresin, hormon yang bertugas menginstruksikan ginjal untuk menghemat air dan mempertahankan volume darah.

Namun, vasopresin tidak bekerja sendiri. Hormon ini juga memengaruhi sistem respons stres otak, yang berpotensi meningkatkan pelepasan kortisol pada saat-saat sulit.

Meskipun minum air yang cukup tidak serta merta menghilangkan stres, tindakan ini dapat membantu memastikan tubuh lebih siap untuk menghadapinya. Dalam dunia yang penuh dengan tekanan, manfaat fisiologis ini mungkin lebih signifikan daripada yang disadari sebelumnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *