Jakarta – Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Salah satunya adalah tanaman kamper atau kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang ternyata menjadi incaran para pedagang Arab.
Dalam kitab suci Al-Quran, tepatnya Surat Al-Insan ayat ke-5, Allah menjanjikan bahwa “orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) bercampur air kafur”. Para ulama menginterpretasikan air kafur tersebut sebagai air dari tanaman kamper atau kapur barus.
Tanaman kamper yang dimaksud bukanlah kamper pewangi yang biasa dikenal, melainkan tanaman dengan nama latin Dryobalanops aromatica yang populer di Arab. Tanaman ini memiliki ciri khas aroma yang sangat wangi dan dapat diminum karena menyehatkan tubuh.
Namun, tanaman ini tidak tumbuh di Arab, sehingga masyarakat Arab harus mencari pusat tanaman kamper. Hal ini membawa para pedagang ke wilayah yang saat itu belum dikenal, yang kini dikenal sebagai Indonesia.
Arkeolog Edward Mc. Kinnon dalam Ancient Fansur, Aceh’s Atlantis (2013) menjelaskan, jalinan perdagangan membuat orang Arab mengetahui bahwa pusat tanaman kamper berada di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatera, khususnya di Fansur atau Barus.
Para pedagang Arab berulang kali menyebut Barus sebagai pelabuhan penting yang mengangkut komoditas, termasuk kamper. Ibn Al-Faqih, seorang pedagang Arab, pada tahun 902 telah menyebut Fansur sebagai wilayah penghasil kapur barus, cengkih, pala, dan kayu cendana. Ahli geografi Ibn Sa’id al Magribi yang hidup di abad ke-13 juga merinci bahwa Fansur penghasil kamper berasal dari Pulau Sumatera. Bahkan, ahli Romawi, Ptolemy, telah menyebut nama Barus pada abad ke-1 Masehi.
Hal ini mendorong banyak warga Arab, terutama pedagang, untuk berbondong-bondong ke Sumatera. Mereka rela melakukan pelayaran jauh dari Arab untuk mendapatkan kamper. Sejarawan Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) mengungkapkan, orang Arab tiba di Barus melalui perjalanan langsung dari Teluk Persia, melewati Ceylon (Sri Lanka), lalu tiba di Pantai Barat Sumatera.
Mereka membawa kapal besar untuk mengangkut banyak kapur barus yang akan dijual dengan harga tinggi di pasar internasional. Kedatangan orang Arab ke Sumatera semakin meningkat setelah kamper asal Barus menjadi yang bermutu tinggi, mengalahkan kamper asal Malaya dan Kalimantan.
Pada titik ini, Barus terbukti sebagai daerah penghasil kamper dan berkembang menjadi pelabuhan penting di Sumatera.
Terungkapnya lokasi kapur barus di Indonesia membuat banyak pedagang Arab mengunjungi Barus untuk singgah hingga menetap. Jika mereka pergi ke China, mereka pasti akan singgah dulu di Barus. Kedatangan mereka tidak hanya bermotif perdagangan, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam.
Akibatnya, terjadi Islamisasi terhadap penduduk lokal di tempat-tempat kedatangan kapal Arab, yaitu Barus (Fansur), Thobri (Lamri), dan Haru. Jejak awal Islam masuk Barus diduga kuat tercatat pada abad ke-7 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kompleks makam kuno Mahligai di Barus. Di sana tertera nisan yang berasal dari abad ke-7 M.
Dari sini, muncul satu teori kedatangan Islam di Indonesia, yang masih menimbulkan perdebatan. Namun, tidak melupakan fakta bahwa lambat laun terjadi proses penyebaran Islam di sana.
Terlepas dari kebenaran teori tersebut, pedagang-pedagang Muslim di Barus berhasil membentuk jaringan perdagangan yang menghubungkan dunia Arab dengan Indonesia dan membuat Indonesia terkenal sejak dahulu kala.