Jakarta – Empat aturan baru yang diterapkan di Taman Yeouido Hangang, Seoul, Korea Selatan, memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Larangan berlari tanpa baju menjadi salah satu poin kontroversial dalam aturan tersebut.

Aturan yang tertuang dalam spanduk di sepanjang jalur pejalan kaki taman itu meliputi larangan berlari tanpa baju, bertepuk tangan atau bersorak, berlari dalam kelompok besar, serta berteriak “beri jalan” kepada pejalan kaki lain. Selain itu, spanduk tersebut juga menekankan etika berlari seperti “Lari dengan aman dalam dua baris” dan “Taman ini untuk semua orang”.

Kebijakan ini muncul seiring meningkatnya jumlah komunitas lari di Seoul. Dilansir dari Korea Herald, kehadiran mereka mulai menimbulkan keluhan dari publik karena dianggap mengganggu, mulai dari kebisingan hingga ketidaknyamanan bagi pejalan kaki.

Pembatasan serupa juga diterapkan di wilayah lain di Seoul. Di Distrik Seocho, otoritas setempat membatasi lari berkelompok lebih dari lima orang di Kompleks Olahraga Banpo, serta mewajibkan pelari menjaga jarak dua meter. Sementara di Distrik Songpa, jalur di sekitar Danau Seokchon juga dipasangi spanduk yang melarang pelari berkelompok lebih dari tiga orang.

Seorang pengguna media sosial X mengungkapkan bahwa teriakan pelari pernah mengejutkannya hingga terjatuh di pinggir jalan. Warga lain juga mengeluhkan perilaku beberapa komunitas lari yang memutar musik keras dan terkesan menguasai area publik.

Namun, ada pula yang menilai larangan tersebut terlalu berlebihan. “Taman itu milik semua orang. Melarang satu aktivitas tertentu justru bisa memicu konflik dengan kelompok lainnya. Lebih baik mendorong saling pengertian dan biarkan masyarakat mengatur diri sendiri,” tulis seorang pengguna Threads, seperti dilansir The Korea Herald, Sabtu (20/9/2025).

Yun Jeong-hoon, pelatih kebugaran berusia 30-an di Gangnam, berpendapat bahwa berlari tanpa baju bukan untuk pamer, melainkan bentuk motivasi pribadi. “Saya pernah termotivasi saat melihat seorang pria tua berlari tanpa baju di sepanjang Sungai Hangang. Itu membuat saya lebih semangat olahraga,” ujarnya kepada The Korea Herald.

Menurutnya, melihat tubuh sendiri dan orang lain secara langsung saat berolahraga bisa menjadi motivasi untuk tetap bugar dan memperhatikan perubahan fisik. “Orang yang rutin berolahraga melihatnya dari sisi kebugaran. Tapi yang tidak terbiasa akan merasa risih karena belum terbiasa saja,” imbuhnya.

Yun mengakui bahwa berlari tanpa baju tidak selalu cocok dilakukan di area ramai dan menyarankan pelari mempertimbangkan kenyamanan orang lain.

Jin Jang, anggota komunitas lari DRBR di Mokpo, juga berpendapat serupa. Menurutnya, selama tidak merugikan orang lain, berlari tanpa baju seharusnya tak menjadi masalah. “Tapi jika mayoritas merasa tidak nyaman, tentu kita juga harus menghormatinya,” ujarnya.

Beaudette, 34 tahun, seorang guru asal Quebec, Kanada, mengaku bingung dengan larangan berlari tanpa baju. “Di Kanada, selama tidak merugikan orang lain secara langsung, ya tidak masalah. Kami sudah biasa berkeringat dan berolahraga di luar ruangan sejak kecil. Itu hal normal,” ujarnya.

Beberapa pelari wanita juga mengaku memilih hanya mengenakan bra olahraga demi alasan kenyamanan dan mendapatkan kulit yang lebih kecokelatan. “Pakai atasan atau tidak saat olahraga adalah pilihan pribadi. Menyebutnya kontroversial terasa sudah tidak relevan lagi,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *