Jakarta – Ironi terjadi di tengah masyarakat Indonesia, di mana kebiasaan merokok masih dianggap wajar, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Alih-alih membeli makanan bergizi, kelompok masyarakat ini justru lebih memilih untuk membeli rokok.
Padahal, dengan uang Rp30.000 yang setara dengan harga sebungkus rokok, masyarakat dapat membeli bahan makanan yang lebih bermanfaat seperti telur, sayuran, dan beras. Lantas, apa yang mendasari keputusan masyarakat miskin untuk tetap membeli rokok?
Fenomena ini, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Amerika Serikat (AS). Pada tahun 2008, perusahaan konsultan Gallup Poll melakukan survei terhadap 75.000 perokok di AS. Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan pendapatan di bawah US$ 24.000 per tahun lebih banyak merokok dibandingkan mereka yang berpenghasilan di atas US$ 90.000 per tahun.
Menanggapi hal ini, Professor Standford University, Keith Humphreys, dalam tulisannya di Washington Post mengungkapkan beberapa faktor penyebabnya. Salah satunya adalah faktor lingkungan. Menurutnya, perokok dari kalangan berada cenderung memiliki dukungan lingkungan yang lebih baik untuk berhenti merokok. Mereka memiliki akses ke jaringan pertemanan yang sehat yang dapat membantu mereka menjauhi rokok.
“Mereka juga mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses perawatan untuk masalah kesehatan mental yang terjadi bersamaan (misalnya, depresi) yang membuat berhenti merokok menjadi lebih sulit,” katanya.
Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang kesulitan menemukan lingkungan yang mendukung mereka untuk berhenti merokok. Akibatnya, mereka terus merokok dan menjadi ketergantungan.
Selain itu, Keith juga menghubungkan kebiasaan merokok dengan depresi. Merokok dapat memicu pelepasan dopamin dalam tubuh, yang memberikan efek bahagia, tenang, dan senang. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan dan mengatasi depresi.
Sementara itu, Megan Sandel dan Renée Boynton-Jarrett dalam opini mereka di CNN International menyoroti peran perusahaan rokok yang dinilai kurang bermoral. Mereka mengakui bahwa faktor lingkungan dan ekonomi berkontribusi terhadap peningkatan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin. Namun, mereka menekankan pentingnya untuk tidak mengabaikan pengaruh dari perusahaan rokok itu sendiri.
“Pabrik rokok menargetkan lingkungan berpenghasilan rendah dengan menyebarkan lebih banyak iklan rokok. Industri juga menargetkan secara khusus rokok kepada kaum muda di lingkungan sosial ekonomi yang rendah,” tulisnya.
Dari sudut pandang psikologi, Morgan Housel dalam bukunya The Psychology of Money (2020) memberikan pandangan lain. Housel mencontohkan kasus pembelian lotere oleh masyarakat miskin yang ternyata mengalokasikan dana empat kali lebih banyak untuk membeli lotere dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Menurut Housel, hal ini terjadi karena masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang mewah yang dimiliki oleh orang kaya. Satu-satunya cara untuk merasakan kemewahan adalah dengan membeli lotere. Kasus ini serupa dengan kasus pembelian rokok, di mana rokok menjadi satu-satunya cara bagi masyarakat miskin untuk merasakan kemewahan.