Jakarta – Pemerintah Korea Selatan mengambil langkah tegas dalam mengatasi potensi dampak negatif media sosial terhadap generasi muda. Rancangan undang-undang yang melarang penggunaan ponsel dan perangkat digital di ruang kelas telah disahkan.

Kebijakan ini, yang akan berlaku efektif mulai Maret 2026, menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu negara yang berupaya membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap smartphone dan media sosial. Langkah ini menyusul kebijakan serupa di Australia dan penelitian di Belanda yang menunjukkan peningkatan konsentrasi belajar siswa setelah pelarangan ponsel di sekolah.

Korea Selatan dikenal sebagai negara dengan tingkat konektivitas digital yang tinggi. Survei Pew Research Center menunjukkan bahwa 99% warga Korea Selatan terhubung ke internet dan 98% memiliki smartphone, angka tertinggi di antara 27 negara yang diteliti pada 2022-2023.

RUU ini mendapat dukungan dari berbagai fraksi di parlemen dalam pemungutan suara pada Rabu (27/8).

Cho Jung-hun, anggota parlemen dari Partai Oposisi People Power Party yang menjadi sponsor RUU tersebut, mengungkapkan kekhawatirannya tentang kecanduan media sosial di kalangan anak muda. “Kecanduan media sosial di kalangan anak muda kita sudah berada pada level serius,” ujarnya, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (28/8/2025).

Cho menggambarkan bagaimana remaja Korea seringkali kurang tidur karena media sosial. “Mata anak-anak kita merah setiap pagi. Mereka masih di Instagram hingga pukul 2 atau 3 dini hari,” katanya di hadapan parlemen.

Data dari Kementerian Pendidikan Korea Selatan menunjukkan bahwa sekitar 37% siswa SMP dan SMA merasa media sosial memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, sementara 22% merasa cemas jika tidak dapat mengakses akun media sosial mereka.

Meskipun banyak sekolah di Korea Selatan telah menerapkan pembatasan penggunaan ponsel, UU ini memformalkan larangan tersebut di tingkat nasional.

Namun, perangkat digital tetap diizinkan untuk tujuan pendidikan dan bagi siswa penyandang disabilitas.

Kebijakan ini juga menuai kritik dari beberapa kelompok advokasi anak yang berpendapat bahwa larangan tersebut dapat melanggar hak asasi anak, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *