Jakarta – Kanker ovarium menjadi perhatian serius di Indonesia, dengan angka kasus yang menempatkan negara ini dalam daftar 10 besar dunia. Data GLOBOCAN 2022 mencatat 15.130 kasus baru setiap tahunnya, dan angka kematian mencapai 9.673 jiwa.

Minimnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan utama, menyebabkan sebagian besar kasus terdeteksi pada stadium lanjut. Kanker ovarium, khususnya jenis epitelial, seringkali tidak terdeteksi dini karena gejalanya yang umum seperti perut kembung dan gangguan pencernaan.

Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (Onkologi) dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, dalam keterangan persnya pada Jumat (25/7/2025), menyoroti pentingnya deteksi dini. “Gejala awalnya sering dianggap biasa, sehingga baru diperiksa saat sudah parah. Padahal, kanker ovarium adalah penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi,” ujarnya.

Faktor risiko kanker ovarium meliputi riwayat keluarga dengan kanker ovarium, mutasi genetik BRCA1/BRCA2, obesitas, tidak pernah hamil, dan menopause yang terlambat. Risiko juga meningkat seiring bertambahnya usia.

Sayangnya, belum ada metode skrining yang akurat untuk deteksi dini. USG transvaginal dan tes darah CA-125 belum cukup efektif untuk menjaring kasus secara luas.

“Tanpa deteksi dini yang tepat, pasien harus menjalani operasi besar dan kemoterapi. Tapi lebih dari itu, risiko kekambuhan tetap tinggi bahkan hingga 70% dalam tiga tahun pertama setelah pengobatan,” jelas dr. Yusuf pada Jumat (25/7/2025).

Namun, harapan baru muncul dengan perkembangan terapi lanjutan seperti maintenance therapy menggunakan obat golongan PARP inhibitor seperti Olaparib. Terapi ini efektif untuk pasien dengan status HRD-positif (Homologous Recombination Deficiency).

Medical Director AstraZeneca Indonesia, dr. Feddy, menyatakan bahwa terapi target ini memberikan harapan baru bagi pasien. “Terapi target ini memberi harapan baru. Selain menekan kekambuhan, juga bisa memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pasien,” katanya.

Oleh karena itu, dr. Feddy menyarankan pasien kanker ovarium untuk berkonsultasi dengan dokter dan menjalani evaluasi molekuler.

President Director AstraZeneca Indonesia, Esra Erkomay, menekankan pentingnya edukasi publik dan peningkatan akses pengobatan. “Kami berkomitmen mendukung sistem kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pasien kanker ovarium di Indonesia. Bukan hanya lewat terapi, tapi juga edukasi dan upaya memperluas akses,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *